Hindari Pendidikan yang Memiskinkan
Oleh: Ibnu Irham*
(*Mencari Jati Diri dan Saat Ini Bukan Siapa-Siapa)

Tokoh pendidikan yang sangat luar biasa asal Brazil, Paulo Freire memberi gagasan bahwa pendidikan sejatinya untuk membebaskan (memerdekakan) manusia dari kebodohan, kemiskinan, keterbelengguan, kepicikan, kekerdilan dan ketamakan. Dari sini ada baiknya kita kembali bertanya, apakah pendidikan kita sudah memerdekakan dan membebaskan?

Jika ukuran kemerdekaan pendidikan adalah meratanya akses pendidikan untuk semua warga Indonesia tanpa pandang bulu, maka sudah pasti pendidikan belum merdeka. Realitanya masih banyak anak usia sekolah yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya. Walaupun dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah dicairkan.

Sangat wajar jika ternyata masih banyak anak usia sekolah yang putus sekolah. Ternyata dana-dana tersebut justru digunakan untuk keperluan lain yang justru tidak penting. Andaipun digunakan untuk biaya sekolah semisal SPP, toh siswa juga harus membayar ini dan itu. Ini belum bagi sekolah yang katanya favorit, sekolah percontohan ataupun sekolah-sekolah berlabel standar internasional. Kondisi paling ironis terjadi di tingkat perguruan tinggi. Mahalnya biaya sekolah yang justru harus dibayar kontan, berkisar jutaan, seakan mengatakan bahwa orang miskin dilarang untuk kuliah.

Pendidikan yang layak masih dimiliki oleh orang-orang kota. Belum merata sampai ke pelosol-pelosok. Bahkan masih banyak daerah yang begitu sulit untuk mengakses pendidikan. Pendidikan hanya sebatas Sekolah Dasar (SD). Itulah uniknya Indonesia.

Di satu sisi pemerintah menetapkan harga mati UN sementara di sisi lain masih banyak daerah yang tidak merasakan kemudahan akses pendidikan. Di satu sisi ada pelajar yang berangkat sekolah dengan mobil mewah, sementara ada pula siswa yang pergi ke sekolah tanpa alas kaki. Ketika anak-anak orang kaya mengantri untuk membeli buku novel, membeli laptop super canggih, ada pula anak yang tak bisa membeli pensil. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini masih ramai terdengar kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya akibat "rewel" meminta uang sekolah, siswa bunuh diri karena tidak mampu melunasi tunggakan SPP atau tidak bisa membeli seragam. Ada pula seorang anak yang disetrika, dipukul hingga babakbelur dan disiram air panas karena kasus yang sama.

Bila indikator kemerdekaan pendidikan adalah terciptanya peserta didik yang unggul, terampil, bertaqwa, kreatif, dan inovatif maka kitapun belum merdeka. Media massa masih ramai memberitakan aksi mesum para pelajar, pelajar yang mencuri, tindakan kriminal lainnya, pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang lainnya.

Sementara itu bila ukurannya adalah sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa maka dunia pendidikan tentu belum merdeka. Masih banyak siswa yang harus belajar ditenda-tenda darurat atau alam terbuka, di bawah pohon, di rumah warga bahkan di kolong jembatan karena sekolah hampir roboh, rusak, adanya penggusuran ataupun sengketa tanah. Dalam hal ini apa yang dikisahkan Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi adalah realita kekinian meskipun ia menceritakan kisahnya waktu kecil (tahun 1970-an).

Guru, sebagai the first man or woman in the class, pun kini menjadi orang yang makin hari makin terjajah. Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya yang kontroversial dan berani, Guru: Mendidik Itu Melawan! (2006), guru seperti pekerjaan lainnya adalah profesi yang diperankan oleh seseorang yang sadar akan potensi seorang siswa. Mendidik bukan sekedar memberikan informasi tetapi juga memahami realitas siswa dan imaginasi akan seperti apa siswa itu kelak setelah lulus pendidikan. Untuk memenuhi fungsi di atas maka guru membutuhkan iklim kebebasan. Akan tetapi, kurikulum yang didesain pada tingkatan tekhnis telah menyandera guru.

Tradisi otoriter yang jadi semangat penguasa lama telah digunakan secara piawai oleh penguasa pendidikan (termasuk pengelola lembaga pendidikan) untuk memenjarakan kreativitas guru. Berbagai tekanan mata pelajaran yang jumlahnya kian tidak masuk akal ini telah menjerumuskan guru pada aktivitas proyek, asal memenuhi kriteria formal dan laba. Beban semakin berat tatkala para guru harus bolak-balik mengurus berbagai syarat sertifikasi agar dapat dikatakan kompeten dan menaikkan gaji atau tunjangan dua kali lipatnya.

Akhirnya pendidikan kita ternyata belum merdeka. Masih terdapat borok disana-sini. Ada banyak penjajahan-penjajahan gaya baru dalam dunia pendidikan kita. Masih terdapat kezaliman-kezaliman, keserakahan, ketidakpedulian, diskriminasi, kebodohan, kemunafikan dan kebobrokan lain yang perlu dilawan.

Sebagai penutup, penulis berharap semoga momen Kabangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan kemudian Hari Pahlawan yang beberapa waktu lalu kita peringati akan menyadarkan pada semua dosa dan dusta "pendidikan" yang telah kita perbuat sekian lama. Dengan segala kekurangan dan kelemahan kita, dunia pendidikan mungkin masih dapat diperbaiki asal ada tekad yang bulat kearah kemerdekaan pendidikan yang sejati. Oleh sebab itu, hendaknya kita berikrar dalam hati masing-masing berupa janji tulus untuk menyelamatkan masa depan pendidikan ini dengan jalan menggalang semua hati nurani dan akal sehat yang cukup tersedia pada semua golongan. Jayalah pendidikan kita. Wallaahua’alam.