HIMAS PENGGUGAT ATAU TERGUGAT
(Sebuah Dialektika Sosial dan Kebebasan Berfikir)

By.Syaifuddin

(Alumni HIMAS/Pemuda Muhammadiyah)

Disaat semua bungkam dan diam dalam panatisme dan kesalehan individual, pada saat itu kelompok minoritas bergerak dalam dinamika kebungkaman itu, berangkat dari dhaurah ramadahan (th.2005 M), tradisi tahunan yang dilakukan oleh Alumni Pesantren Abu Hurairah sebagai bentuk penggodokan mentalitas dan pengembangan intelektualitas yang kental dengan kajian-kajian religius yang monologis (peserta hanya menjadi pendengar dari pemaparan pemateri), pada tahun itu, nampak aroma kesegaran berfikir, agresif, terbuka, dinamis dan ilmiah dibanding tahun-tahun sebelumnya , hal ini karena dominasi para mahasiswa sapeken yang tersebar di berbagai perguruan tinggi se Indonesia berkumpul untuk mengikuti acara tersebut.
Pada saat itu, mahasiswa sapeken telah meleburkan diri dan menjadi satu kekuatan perubahan dalam proses dialektika sosial dan pencerahan paradigma berfikir masyarakat, kekuatan perubahan itu berada pada satu wadah yang di sebut dengan HIMAS (24 Pebruari 2001), sebuah oraganisasi kemahasiswaan/kepemudaan yang terlahir dari anak jaman.
Berangkat dari dhaurah ramadhan, sebagai bentuk awal gerakan pencerahan generasi ketiga, generasi kaum terdidik yang terpola dari kampus untuk masyarakat, gerakan ke HIMAS-an tidak mustahil akan lepas dari benturan-demi benturan pemikiran dan kemapanan sosial apalagi para mahasiswa diasumsikan sudah terkena virus sepilis (sekuler, pluaralis dan libralis) sebuah asumsi dasar dari radikalisme berfikir dan ekstrimisme dalam beragama, itulah konsekwensi logis terhadap para pembaharu.
Dan masih segar dalam HIMAS memories, peristiwa pengkafiran, sesat, murtad, syetan laknatullah dan ungkapan kata-kata sinis yang dilabelkan pada HIMAS, apa lagi dimunculkan lewat gerakan mimbariyah doktrinisasi terhadap masyarakat “anak-anak kita (para mahasiswa) sudah terindikasi dan menjadi sayap JIL (Jaringan Islam Liberal ) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), terus mau jadi apa mereka?”.
Dan inilah tantangan terbesar bagi HIMAS dan harus mampu membantah bahwa HIMAS bukan seperti yang di asumsikan itu, tetapi HIMAS adalah kekuatan pembaharu dan mampu menjadi suritauladan untuk masyarakat karena bagaimanapun juga kaum terdidik selalu mengembangkan mentalitas dan beretikakan moralitas agama.

Menggugat Kebekuan
Melihat kondisi riil fanatisme beragama, anti kritik (kritik membangaun), paternalistik, kemapanan status qou dan hilangnya rasa solidaritas sesama dalam mengembangkan sosial-ekonomi masyarakat dan di perparah oleh truet claim (pengklaiman kebenaran tunggal dalam berfikir), ego sentries sosial mengakibatkan hilangnya kesadaran kritis masyarakat, gejala sosial ini dinilai sebagai kebekuan-kebekuan yang memperlambat dinamika peradaban masyarakat dan menjadi batu sandungan dalam proses kemajuan, disadari dan atau tidak disadari oleh kita.
Penyakit kronis masyarakat seperti itu akan melahirkan masyarakat ketergantungan dan pada akhirnya akan kehilangan prinsif hidup, bahkan akan tergilas oleh jaman yang selalu dinamis, menggila tanpa pandang buluh. Oleh karena itu HIMAS menggugat, sehingga tidak terciptanya masyarakat yang kerdil, gelamor, elitis dalam pergaualan (kesepadaman hidup; pendiskriditan dalam status sosial).
Gugatan-gugatan seperti itu, adalah naluriyah sosialitas manusia yang terdidik, dan bukan kaum terdidik (akademisi sosial) kalau tidak merasa ikut bertanggung jawab untuk melakukan perubahan dan pencerahan, karena HIMAS bukan ikan yang hidup dalam aqurium yang dibatasi oleh dunia imajiner, padahal di depan matanya ada gejala-gejala sosial yang memerlukan perubahan, dan HIMAS bukan katak yang hidup dalam tempurung, sebuah dunia kecil dalam pergaulan hidup dan terisolir oleh dinding-diding yang tidak dapat ditembus oleh kekuatan sang katak, tapi, HIMAS adalah kaum terdidik dan memiliki kekuatan ilmu dari berbagai disiplin untuk menembus dinding-dinding itu dan pada akhirnya keluar dari dunia kecil menuju masyarakat yang berperadaban, harmonis, berkemajuan dan beradab serta masyarakat yang sadar terhadap eksistensi ketuhananya “baldatun thayyibatun warabbun ghafaur”.
sebuah dialektika sosial yang terlahir dari Sang Kreator Allah SWT, “maqaasidus as- syar`iyyah” (Maksud Tuhan untuk manusia) karena bagaimanapun juga sebuah peradaban dan kemajuan tidak akan pernah merasa damai dan bertahan jika tidak menyandarkan pada dua kekuatan besar untuk mengembangkan titah-titah Tuhan dalam pemakmuran bumi dan menjaga peradaban manusia dalam keberlansungan hidup di dunia-Nya, yaitu; pertama, kontiunitas komitmen dalam keyakinan terhadap ke Maha Esaan Tuhan (al-iman) dan ; kedua, kreatifitas tertinggi manusia dengan ilmu pengetahuannya (amal shaleh).
Sejarah mencatat,tiga peradaban bersar dunia pernah berlansung, tetapi tidak pernah bertahan dalam ke abadian duniawiyahnya, Empirium Romawi, pernah jaya namun hancur berkeping-keping, Empirium Yunani pun pernah berjaya dan menjadi rujukan dunia namun hancur lebur dalam kejayaannya dan Islam pun pernah menjadi peradaban dunia dan di saat Eropa-Barat lelap buyan mimpi kegelapan dan tengelam dari tidurnya Islam sudah menjadi metropolis dunia dalam pengembangan sain dan lmu pengetahuan, tapi peradaban dan kemajuan Islam pada saat itu tidak bertahan lama dalam dinamikanya, lalu kita bertanya kenapa tiga peradaban bersa itu tidak bertahan lama? jawabnya adalah, empirium Yunani-Romawi, hancur karena karena perdaban yang mereka pimpin tidak disandarkan pada keyakinan agama yang benar, sedangkan peradaban Islam lumpuh karena tingginya pengembangan spritualitas (hight sprituality) “ukrawiyah” tapi kering dalam pengembagan sain dan Ilmu pengetahun “duniawiyah” dan sejak itu dunia Barat mengmabil alih perdaban dunia sampai sekarang.
Ketika Ibnu Rust, “menggugat” penampilan umat Islam dan berusaha melakukan dialektika sejarang dengan gagasan-gagasan yang progresif, namun pada saat yang bersamaan muncul Imam Al Gazali, melawan gagasan-gagasan Ibnu Rust dengan konsep Hight sprituality (pengembangan rohaniyah dan melemahnya pengembangan duniawiiiyah sehingga tidak adaya balence antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spritual.
HIMAS Tergugat
Dalam kemelut kesah dinamika masyarakat berada ditengah paternalistik,ketergantungan tokoh yang berujung kepada kebenaran tungal, menggugah para mahasiswa untuk bisa mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya dengan realitas sosial. Dalam perjalanannya HIMAS mengalami goncangan-demi goncangan dari para tokoh sosial dan elit agama, bahwa apa yang dilakukan oleh para mahasiswa adalah keresehan aqidah umat dan hanya menaburkan benih-benih sekulerisme, pluralisme dan libralisme.
Ada beberapa catatan-catatan kecil yang termaktup dalam HiMAS Memories dan menjadi goresan perjuangan kepulauan untuk Indonesia, peristiwa Dhaurah Ramadhan awal dari hantaman buat mahasiswa, fikrah mahasiswa dinilai sudah keluar dari fikrah Islam, komitmen keimanan mahasiswa sudah kering dari radikalisme ketuhanan, berangkat dari dialog akademis “Indahnya Mencintai Karena Allah Menuju Ukhuwah dan Persatuan Umat Islam”. Pada sesi kedua (dialog pemateri-peserta) mencul sekelumit pertanyaan dari peserta (HIMAS Lampung); “kenapa perempuan dinikahi dan menjadi obyek laki-laki?” dengan lantang dan fasih pemateri membacakan sebuah hadist Rasulullah SWA. untuk memperkuat argumentasinya; bahwa, perempuan di cintai dan di Nikahi laki-laki karena empat yang melekat pada dirinya; yaitu, “karena hartanya,karena kecantikanya,karena keturunanannya (kehormatan;keluarganya) dan karena agamanya”. Mendengar jawaban itu, penanya mengeluarkan kegelisahan dan ketidak puasannya, dan kembali bertanya, “kalau hal itu saya sudah tahu, yang saya ingin pertegaskan, apakah tidak ada jawaban lain selain dari itu?” seorang peserta (guru pesantren) merspon dengan retorika sinis terhadap mahasiswa ”kenapa kita tidak menrima hadist sebagai jawaban terhadap permaslahan dan mengangap wahyu Tuhan sudah tidak relevan lagi dengan jaman?” melihat reaksi itu, peserta (HIMAS Malang) berkilah dengan konsep relativisme kebenaran “para mahasiswa tidak pernah mengatakan pesan-pesan lagit itu sudah lapuk oleh masa dan sudah tidak relevan lagi dengan kecanggihan berfikir manusia, tetapi, wahyu Tuhan melekat dalam absolutisme kebenaran, dan akan menjadi relativisme kebanaran ketika wahyu di benturkan untuk merespon realitas bumi (masyarakat) karena adanya interpretasi/penapsiran yang dilakkan manusia sesuai dengan kapasitas intelektulitasnya, artinya kebenaran wahyu adalah kebenaran tertinggi dan tidak adanya yang dapat membantahnya dan relativisme kebnaran terendah adalah pruduk berfikir manusia yang selalu berubah sesuai dengan dinamika dan kemajuan berfikir manusia. Karena forum semakin dinamis dan terkesan alot maka dialogpun di hentikan untuk menju pada pemateri berikutnya.
Mendengar hasil dari dhaurah ramadhan itu, Mudir `Am Pesanteren Abu Hurairah, terkejut dan bereaksi keras untuk meminta klarifikasi apa yang terjadi pada saat dahurah itu, maka para panitia di panggil untuk menghadap dengan dua opsi: “mengkalrifikasi (dirumah atau di pesanteren) dan atau kalian (mahasiswa) dijadikan tema khutbah `idul fitri nanti?”. Dan panitiapun memilih opsi pertama, setalah shalat tarawi, mahasiswa yang disebut ikut bertanggung jawab dalam acara tersebu menghadap kepada beliau (HIMAS Lampung,HIMAS Malang dan HIMAS Mankasar, dan HIMAS Jakarta)sebagi bentuk dari pertanggung jawaban Dhaurah, setelah dipersilahkan masuk kerumah beliau dan beliau mengomentari dan berpesan kepada para masiswa pada saat itu ”seharusnya kalianlah yang harus mengcounter pemikiran JIL bukan sebaliknya sebagai penyebar JIL, kalau demkian siapa yang akan berbicar dan mengklarifikasi pada acara itu?”. Maka HIMAS Lampung (Ketua Panitia), mengklarifikasi bahwa ”kami (mahsiswa tidak pernah mengatakan dan menganggap wahyu (al-qur`an-al-hadits)sudah tidak relevan lagi dengan jaman, kami hanya mengatakan hasil pruduk penafsiran manusia tehadap wahyulah yang mengandung kebeneran relatif’ beliaupun mengatakan, “jika demikian tidak ada masalah, saya memangil kalian hanya meminta klarifikasi, kebnaran yangsesunguhnya karean alquran berpesan agar kita ber-tabayyun; meminta penjelasan, dan saya berharap kalian tidak menjadi bagian dari JIL .!
Untuk menindak lanjuti pesan itu, mahasiswa (HIMAS Malang, HIMAS Jakarta dan HIMAS Jogjakarta menghadap kembali kepada beliau (Mudir`Am PP.Abu Hurarah) dan beliau mengatakan, seandainya seminar itu yang kalian laksanakan bukan dhaurah yang tidak ada mamfaatnya itu, terus kapan?” merekapun menjawab “dua hari lagi, dan merekapun meminta kepada beliau untuk menjadi Key Note Speaker dalam acara “Dialog Publik” (Mengantisipasi Masuknya Pemikiran JIL di Kepulauan Sapeken) dengan Nara Sumber pertama, Rahmatul Ummah, representatif Mahasiswa (HIMAS Lampung) “Pemikiran JIL dalam Perspektif Akademik” dan nara sumber kedua, Ust.Firdaus, Representatif (PP.Abu Hurairah) “Pemikiran JIL dalam Perspektif Al-quran dan Hadits” dan beliau menyanggupinya.
Pada saat pelaksanaan dialog publik di Masjid Mujahadah, maksud dan hasil yang akan di capai tidak memenuhi standar karena Key Note Speaker berbicara dengan penuh emosional dan hujatan terhadap JIMM dan JIL yang di labelkan kepada mahasiswa Sapeken, kata-kata sisnis dan subyektivitas itu menghantam mahasiswa, bahkan mempengaruhi pemateri pertama yang hanya berbicara lima menit dan tidak representatif terhadap kajian JIL yang akan di sampaikan pada saat itu dan pemateri keduapun tidak lagi berbicara pemikiran JIL dalam perspekti alqur`n dan hadist tetpi lebih terfokus pada logika dan pengharaman filsafat, dialog pun tidak terjadi karena mahasiswa pada saat itu sudah membiarkan pemateri berbicara monologi tanpa menghiraukan apa yang di paparka terutam oleh pemateri kedua.
Sebagai Mahasiswa yang lebih banyak bergelut dengan beragai disiplin ilmu di tempat perkuliahan (daerah) masing-masing dan moment terbesar untuk berkumpul adalah pada jelang hari raya `idul fitri sampai tujuh hari setelah hari raya, tepat tahun 2006 alumni mahasiswa (HIMAS Malang dan HIMAS Jogjakarta) mengadakan “SEMINAR” (Study Kelayakan Kabupaten Kepulauan Sapeken-Kangayan) di Masjid Mujahadah kamp.raas (sasaran yang direncanakan sebagai awal kebangkitan peradaban baru di Sapeken), dengan dua nara sumber, nara sumeber pertama, H.Mabni Darsi,MA alumnus, Internasional Islamic Univesity of Islamabad Pakistan dan nara sumber kedua, Badrul Aini, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Sumenep.
Lagi-lagi HIMAS tergugat, karena terkesan memojokkan nara sumber kedua, padahal nara sumber kedua hanya bisa berapologi dalam ketidak mampuanya untuk memberikan jawaban yang di pertanyakan kepada beliau.
Kemudian pada tahun 2008 mahasiswa (alumni HIMAS Malang dan HIMAS Jakarta) kembali melakukan Gebrakan pencerahan dan pendidikan politik kepada masyarakat jelang Pemilihan Kepala Desa Sapeken Periode 2008-2014, gerakan pendidikan politik ”politic education” terhadap masyarakat berupa “DEBAT KANDIDAT” (Mencari Pemimpin Masa Depan Sapeken Periode 2008-2009), ternyata menadapat counter dari tokoh sentral kepulauan bahwa “apa yang dilakukan oleh mahsiswa, hanya akan menibulkan konflik antar pendukung” padahal dengan debat tersebut masyarakat dapat menilai kamapuan para kandidat yang akan di nomor satukan itu, karena konsep yang di tawarkan adalah bagaiman para kandidat menyelaesaikan problematika masyarakat Sapeken terhadap harapan masyarakat yang sudah divisualkan lewat vidio rekaman oleh panitia.
Dalam perjalan pencoblosan pesta demokrasi lokal (PILKADES) yang memakan korban dengan tengelamnya perahu motor (masyarakat yang memilih) dari masyarakat dusun pulau Saibus. Dengan tanggap HIMAS lansung menggalang dana atas musibah yang menimpa masyarakat dusun Saibus di tengah-tengah kerumunan masyarakat disat pencoblosan sedang berlansung. Namun tetap saja HIMAS tergugat “kenapa HIMAS harus bertanggung Jawab untuk melakukan pengalngan dana?, seharusnya panitia-lah yang bertanggung jawab dari musibah tersebut”.
Kebaktian dan kepedulian itu, kenapa harus di batasi hanya kepada orang tertentu saja, bukankan agama mengajarkan bahwa manusia harus saling ta`aun dan ber-fastabiqul khairat? Jawabannya adalah merka tidak akan merasa “senang” kalau pekerjaan dan ide-ide tidak keluar dari mereka yang memiliki kemapanan sosial itu.
Apa yang dilakukan oleh HIMAS adalah bentuk dari aktualisasi gagasan dan kepedulian sosial karena HIMAS dilahirkan oleh para senionya bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain (masyarakat), dan bagaimanapun juga HIMAS bagian dari masyarakat
Hindari Pendidikan yang Memiskinkan
Oleh: Ibnu Irham*
(*Mencari Jati Diri dan Saat Ini Bukan Siapa-Siapa)

Tokoh pendidikan yang sangat luar biasa asal Brazil, Paulo Freire memberi gagasan bahwa pendidikan sejatinya untuk membebaskan (memerdekakan) manusia dari kebodohan, kemiskinan, keterbelengguan, kepicikan, kekerdilan dan ketamakan. Dari sini ada baiknya kita kembali bertanya, apakah pendidikan kita sudah memerdekakan dan membebaskan?

Jika ukuran kemerdekaan pendidikan adalah meratanya akses pendidikan untuk semua warga Indonesia tanpa pandang bulu, maka sudah pasti pendidikan belum merdeka. Realitanya masih banyak anak usia sekolah yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya. Walaupun dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah dicairkan.

Sangat wajar jika ternyata masih banyak anak usia sekolah yang putus sekolah. Ternyata dana-dana tersebut justru digunakan untuk keperluan lain yang justru tidak penting. Andaipun digunakan untuk biaya sekolah semisal SPP, toh siswa juga harus membayar ini dan itu. Ini belum bagi sekolah yang katanya favorit, sekolah percontohan ataupun sekolah-sekolah berlabel standar internasional. Kondisi paling ironis terjadi di tingkat perguruan tinggi. Mahalnya biaya sekolah yang justru harus dibayar kontan, berkisar jutaan, seakan mengatakan bahwa orang miskin dilarang untuk kuliah.

Pendidikan yang layak masih dimiliki oleh orang-orang kota. Belum merata sampai ke pelosol-pelosok. Bahkan masih banyak daerah yang begitu sulit untuk mengakses pendidikan. Pendidikan hanya sebatas Sekolah Dasar (SD). Itulah uniknya Indonesia.

Di satu sisi pemerintah menetapkan harga mati UN sementara di sisi lain masih banyak daerah yang tidak merasakan kemudahan akses pendidikan. Di satu sisi ada pelajar yang berangkat sekolah dengan mobil mewah, sementara ada pula siswa yang pergi ke sekolah tanpa alas kaki. Ketika anak-anak orang kaya mengantri untuk membeli buku novel, membeli laptop super canggih, ada pula anak yang tak bisa membeli pensil. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini masih ramai terdengar kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya akibat "rewel" meminta uang sekolah, siswa bunuh diri karena tidak mampu melunasi tunggakan SPP atau tidak bisa membeli seragam. Ada pula seorang anak yang disetrika, dipukul hingga babakbelur dan disiram air panas karena kasus yang sama.

Bila indikator kemerdekaan pendidikan adalah terciptanya peserta didik yang unggul, terampil, bertaqwa, kreatif, dan inovatif maka kitapun belum merdeka. Media massa masih ramai memberitakan aksi mesum para pelajar, pelajar yang mencuri, tindakan kriminal lainnya, pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang lainnya.

Sementara itu bila ukurannya adalah sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa maka dunia pendidikan tentu belum merdeka. Masih banyak siswa yang harus belajar ditenda-tenda darurat atau alam terbuka, di bawah pohon, di rumah warga bahkan di kolong jembatan karena sekolah hampir roboh, rusak, adanya penggusuran ataupun sengketa tanah. Dalam hal ini apa yang dikisahkan Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi adalah realita kekinian meskipun ia menceritakan kisahnya waktu kecil (tahun 1970-an).

Guru, sebagai the first man or woman in the class, pun kini menjadi orang yang makin hari makin terjajah. Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya yang kontroversial dan berani, Guru: Mendidik Itu Melawan! (2006), guru seperti pekerjaan lainnya adalah profesi yang diperankan oleh seseorang yang sadar akan potensi seorang siswa. Mendidik bukan sekedar memberikan informasi tetapi juga memahami realitas siswa dan imaginasi akan seperti apa siswa itu kelak setelah lulus pendidikan. Untuk memenuhi fungsi di atas maka guru membutuhkan iklim kebebasan. Akan tetapi, kurikulum yang didesain pada tingkatan tekhnis telah menyandera guru.

Tradisi otoriter yang jadi semangat penguasa lama telah digunakan secara piawai oleh penguasa pendidikan (termasuk pengelola lembaga pendidikan) untuk memenjarakan kreativitas guru. Berbagai tekanan mata pelajaran yang jumlahnya kian tidak masuk akal ini telah menjerumuskan guru pada aktivitas proyek, asal memenuhi kriteria formal dan laba. Beban semakin berat tatkala para guru harus bolak-balik mengurus berbagai syarat sertifikasi agar dapat dikatakan kompeten dan menaikkan gaji atau tunjangan dua kali lipatnya.

Akhirnya pendidikan kita ternyata belum merdeka. Masih terdapat borok disana-sini. Ada banyak penjajahan-penjajahan gaya baru dalam dunia pendidikan kita. Masih terdapat kezaliman-kezaliman, keserakahan, ketidakpedulian, diskriminasi, kebodohan, kemunafikan dan kebobrokan lain yang perlu dilawan.

Sebagai penutup, penulis berharap semoga momen Kabangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan kemudian Hari Pahlawan yang beberapa waktu lalu kita peringati akan menyadarkan pada semua dosa dan dusta "pendidikan" yang telah kita perbuat sekian lama. Dengan segala kekurangan dan kelemahan kita, dunia pendidikan mungkin masih dapat diperbaiki asal ada tekad yang bulat kearah kemerdekaan pendidikan yang sejati. Oleh sebab itu, hendaknya kita berikrar dalam hati masing-masing berupa janji tulus untuk menyelamatkan masa depan pendidikan ini dengan jalan menggalang semua hati nurani dan akal sehat yang cukup tersedia pada semua golongan. Jayalah pendidikan kita. Wallaahua’alam.

HIMAS BERASASKAN ISLAM, KENAPA TIDAK?

(Sebuah Ajakan Berdiskusi Lebih Lanjut Atas Gagasan Ketua Presidium)

Oleh : Rahmatul Ummah

(Mahasiswa S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Universitas Lampung)

Ada beberapa hal yang menurut saya menarik dari tulisan Minhadzul Abidin Ketua Presidium HIMAS Pusat. Pertama, Inklusif. Semangat keterbukaan yang melahirkan sikap toleran terhadap nilai-nilai berbeda yang tidak dilembagakan dalam satu agama tertentu, hal itu tampak di saat beliau memberikan interpretasi bahwa Islam tidak sebatas agama, tetapi juga norma dan nilai. Kedua, Universal. Penangkapan tentang esensi dari ajaran-ajaran Islam yang universal begitu tampak dalam tulisan beliau, bahwa pada dasarnya kehadiran Islam bukan hanya untuk orang Islam, tetapi harus mampu menjadi agama (baca; nilai) rahmatan lil’alamin (pengayom terhadap alam semseta), tulisan tersebut menjadi tonjokan telak terhadap muslim (baca; orang Islam) yang sering mereduksi perilaku keberagamaan mereka dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan petunjuk Islam (baca; Al Qur’an dan Hadits). Misalnya, mengajak orang yang ’dianggap’ tersesat (baca; mad’u) untuk menjalankan kebenaran sering dengan cara-cara penuh kebencian, sehingga lebih sering pesan dakwah gagal terkirim (Message Error), atau juga ada yang mempersepsikan kasih sayang secara berlebihan, sehingga merasa perlu menyediakan kamar kostnya untuk menginap kekasihnya, (pertanyaan; ini rahmatan lil alimin atau budak nafsu ya?)

Yang perlu menjadi catatan kita bersama, walaupun HIMAS adalah organisasi yang berlatar belakang primordial (karena hanya untuk orang-orang dalam wilayah Sapeken) tetapi HIMAS tidak hanya dimiliki oleh satu kelompok, HIMAS lebih plural. Aktifis HIMAS berasal dari berbagai macam latar belakang keyakinan madzhab kelompok Islam. Hal ini bisa menjadi kekayaan potensi HIMAS, jika dikelola dengan baik, sekaligus bisa menjadi ancaman besar, jika sebagian anggota HIMAS masih berfikir tertutup (ekslusif) dan terjebak pada truthclaim (klaim kebenaran).

Oleh karena itu bicara tentang asas, adalah sebuah proses akomodatif dan kompromi terhadap keyakinan yang beragam, selama tidak membelokkan kebenaran mutlak. Tidak boleh ada satupun orang yang merasa dipaksa atau memaksa orang lain untuk berteduh dalam kerindangan organisasi HIMAS, semua orang harus merasa nyaman dan memiliki HIMAS sebagai rumah bersama. Artinya, setiap kebijakan HIMAS harus dirumuskan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

Partisipasti, berarti semua anggota HIMAS harus terlibat dalam setiap pembuatan kebijakan. Untuk itu disediakan ruang dan waktu sebagai institusi pengambilan keputusan tertinggi, yang seluruh anggota HIMAS memiliki hak yang sama untuk menerima atau menolak kebijakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Transparan, adalah prinsip keterbukaan. Tidak boleh ada satupun kebijakan yang manipulatif dan ditutup-tutupi dari seluruh anggota. Tidak ada rekayasa kepentingan yang bisa menggusur kepentingan yang lain, semua harus dibicarakan secara terbuka, sehingga apapun yang diputuskan oleh HIMAS sebagai kesimpulan akhir, adalah kepentingan bersama, dan menjadi kewajiban bersama untuk menjalankan dan melaksanakannya.

Akuntabitas, bertanggung jawab. Artinya apapun kebijakan yang telah diputuskan HIMAS harus (wajib) dilaksanakan secara bertanggungjawab oleh seluruh anggota HIMAS sampai lahirnya kebijakan baru HIMAS yang diambil dalam forum setingkat.

Oleh karena itu, perdebatan tentang kebijakan HIMAS (termasuk asas) merupakan sebuah proses politik tarik menarik kepentingan, dimana anak-anak muda di dalamnya dituntut untuk lebih arif menerima setiap perbedaan, sekaligus berlapang dada untuk menerima kebijakan yang merupakan keinginan dari kelompok mayoritas, selalu tidak menjadi tirani. Sehingga setiap kebijakan yang ditetapkan tidak lagi menjadi milik kelompok tertentu, tetapi milik bersama anggota HIMAS.

Interpretasi akal terhadap ayat-ayat Tuhan, meniscayakan beberapa kelemahan yang menghalalkan setiap orang untuk berbeda terhadap tafsir yang diproduksi akal tersebut, karena tidak ada satupun orang yang berhak untuk mengklaim paling benar tafsirannya terhadap teks-teks suci, dengan menafikan kebenaran orang lain. Tarik menarik argumentasi tentang kewajiban dan ketakwajiban HIMAS berasaskan Islam adalah hal yang absah.

Saya hanya menganjurkan untuk senantiasa mendahulukan segala sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar, dan mengenyampingkan dahulu hal-hal yang bisa mendatangkan kemudharatan terhadap eksistensi HIMAS (dar’u al mafasid wa jalib al mashalih) sebagai landasan berfikir HIMAS.

Sebagai alumni, tidak ada satupun niatan untuk terlalu jauh mengintervensi kebijakan yang telah dan akan dibuat HIMAS, seluruh anggota HIMAS adalah pribadi-pribadi yang mandiri dari kelompok intelektual muda.

Secara kongkrit saya hendak menyampaikan, jika Islam sebagai asas sanggup menjadi katalisator (perekat) antar anggota HIMAS, dan bisa menghindarkan HIMAS dari kemudharatan yang lebih besar, maka asas Islam adalah pilihan terbaik HIMAS. Tapi, sebaliknya jika asas Islam menjadi penyebab perpecahan dan kemudharatan yang lebih besar menimpa HIMAS, maka asas Islam bukan menjadi pilihan terbaik buat HIMAS. Bukankah universalisme ajaran Islam itu selalu memberikan dampak terbaik terhadap orang-orang yang istiqomah (berdiri tegak memegang kebenaran universal)? Dan bukankah kebenaran universal Islam itu yang pada satu sisi dia sukses menuhankan Tuhan, dan di sisi lain berhasil memanusiakan manusia?

Islam dalam pandangan saya, adalah sistem nilai yang bekerja untuk kebaikan dan kesejahteraan makhluk (manusia dan seluruh isi alam), jika HIMAS memiliki komitmen keummatan yang jelas untuk kesejahteraan masyarakat kepulauan, maka sesungguhnya HIMAS telah melakukan internalisasi nilai-nilai Islam dalam setiap individu anggotanya. HIMAS tidak perlu merasa terganggu dengan simbolisasi asas Islam, karena bisa jadi asas Islam menjadi alat ukur keberhasilan mission secret HIMAS. So, Islam dicantumin atau tidak dicantumin menjadi asas HIMAS seluruh masyarakat kepulauan akan tetap menunggu kinerja dari organisasi ini. Belajarlah menyetubuhi realitas, bukan hanya beronani dengan teori dan diskusi dari meja ke meja. Dengan begitu, kita bisa mengetahui tingkat kenikmatan perjuangan.

Kawan-kawan HIMAS, saya yakin sudah cukup cerdas untuk bisa mengambil sikap sendiri, mengerti pendapat mana yang diluar ambang toleransi dan mana yang bisa didamaikan, sehingga mudharatnya terhadap organisasi bisa diminimalisir. Wallahu a’lam.

Sukses HIMAS, Sejahtera Masyarakat Kepulauan, Kebangkitan Baru Anak-Anak Nelayan. Matappe sallah limongan ka lahat . Ngurrangiku kimowat nyayaloh pupok aha memon madialan Kabupaten Kepulauan Sapekkan.

Catatan :

Satatohone serri ku na nulis makai baun same, tapi mamalaku ku, barah nia sadirian makite tabeya mace tulisan itu, sahingge talatto atai beke pikkiranne nabangan kite memon, ngambangun pulaute...........Sallah limonganku kakahan memon tekke ma lampung. (Uung Saur – 0817324277)

seri kajian islam


HERMENEUTIKA DAN TAFSIR
Sebuah Study Komparatif

Oleh : Umar Hadi

Dalam karyanya yang paling monumental, Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa peradaban yang kalah itu cenderung membeo kepada peradaban yang lebih superior. Budaya membeo itu tidak hanya dalam aspek budaya dan kultur saja. Tetapi juga menyentuh wilayah pemikiran. Apa yang dikatakan oleh cendikiawan muslim bahwa saat ini dunia Islam sedang mengalami invasi pemikiran dan imperealisme epistimologis adalah bukti nyata bahwa hegemoni intelektual itu benar-benar berusaha meluluhlantakkan struktur dan bangunan pemikiran Islam.
Salah satu bentuk hegemoni intelektual itu adanya tren dikalangan cendekiawan muslim modernis yang –katanya- liberal dan progresif yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an melalui hermeneutika.
Makalah ini akan berusaha menjelaskan irrasionalitas dan irrelevansi hermeneutika, disamping juga menunjukkan beberapa kesalahan fatal yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim, utamanya pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkon, ketika mereka berusaha memaksakan metode ini untuk menginterpretasi terhadap Al-Qur’an

BEBERAPA PRINSIP UTAMA

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang hermeneutika, maka ada baiknya kami tegaskan dua prinsip berikut:
1. Bahwa Al-qur’an yang ada sekarang adalah firman Allah SWT yang terpelihara dari kesalahan baik lafadz dan maknanya. Karena itu tafsir sebagai metode yang paling abash dan taken for granted dalam memahami Al-qur’an juga selamat subyektifitas penafsirnya dan secara otomatis penafsiran itu memuat nilai kebenaran mutlak. Tidak ada ruang relativisme dalam tafsir.
2.Bahwa setiap agama memiliki kitab keagamaan, dan setiap kitab keagamaan memiliki sejarah tradisi dan pemahamannya sendiri-sendiri. Problem pemahaman teks suatu agama tidak dapat diselesaikan oleh metode pemahaman teks agama lain. Sesungguhnya sejarah lahirnya hermeneutika sebagai metode interpretasi tidak dapat dipisahkan dari problem teks Bible. Hermeneutika diperlukan oleh para teolog Kristen untuk menemukan kebenaran Bible. 1
Karena hermeneutika merupakan respon terhadap problema teks Bible, maka masalah ini juga perlu disampaikan walaupun dengan penjelasan yang ringkas.
Problematika Teks Bible#
Istilah Bible digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya berbagai irisan dalam Bible. Hingga kini Bible biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak kristen disebut sebagai The Old Testament. Istilah ini ditolak oleh Yahudi karena istilah mengandung makna bahwa perjanjian (Testament) Tuhan dengan Yahudi adalah “Perjanjian Lama” yang sudah dihapus dan digantikan dengan perjanjian baru (New Testament) dengan kedatangan Jesus yang dipandang bagi kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak Klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.
Bagi Yahudi, yang disebut Bible adalah 39 Kitab dalam Perjanjian Lamanya kaum Kriseten, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bible yang didalamnya termuat torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital.
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin yang paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa kini siapa yang sebenarnya yang menulis Kitab ini masih merupakan misteri. Ia selanjutnya mengatakan “adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita.2
Begitu juga problema teks yang terjadi dalam kitab Perjanjian Baru. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princenton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satunya buku yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration”, menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam bukunya yang lain berjudul “Al-qur’an Textual Commentary on the Greek New testament”, Metsger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu:
1.Tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan
2.Bahan-bahan yang adapun sekarang ini bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya yang menjadi persoalan akut dalam Bible adalah persoalan bahasa yang menjadi sebab utama timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Karena hingga kini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible yang berbahasa Greek, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Jadi karena Bible asli tidak ditemukan makna teks standar untuk membuat berbagai versipun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi dengan tradisi kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja. Dan inilah yang akar masalahnya sehingga Bible memerlukan Hermeneutika. Itulah sebabnya dalam buku “The New Ensyclopedia Britanica” hermeneutika didefinisikan sebagai studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible yang tujuannya: untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.3
Metodologi Kritik Bible dan Hermeneutika
Tidak seperti Al-qur’an yang terpelihara dan terjaga dari kesalahan, kekurangan dan penyimpangan, Bible dalam sejarahnya banyak mengandung kesalahan dan kekurangan. Ketika para teolog Yahudi dan Kristen mengkaji Bible secara kritis, Bible yang selama ini dianggap sebagai textus receptus ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar. Puncaknya pada abad ke-19 textus receptus perjanjian baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin untuk mengkritik Bible telah mapan. Kata kritik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Maknanya telah berubah menjadi positif.
Setidaknya ada dua metode kritik terhadap Bible, yaitu
1. Kritik Sumber
Bible, bagi Yahudi Kristen adalah sebuah kitab suci yang dihasilkan dari diskursus kesejarahan yang panjang. Ia adalah produk sejarah. Sebab, ia dipercaya ditulis oleh individu-individu yang terinspirasi dan berlainan masa. Tuhan telah mendiktekannya pada penulis-penulis yang terinspirasi tersebut melalui visi, mimpi dan berbagai macam ilham. Namun, penulis-penulis yang terinspirasi itu bagaimanapun tetap manusia. Oleh sebab itu, pengaruh unsur kemanusiaan Bible sangat kental. Gaya bahasa, style penulisan, pengaruh kondisi sosio histories, ragam penulisan yang berlainan tersebut menghasilkan beragam variasi Bible.Para sarjana Yahudi Kristen pun berkeyakinan bahwa karena unsur kemanusiaan itulah maka Bible boleh dikritisi dan dievaluasi karena hakikat teksnya adalah tidak tetap dan terus berevolusi.
PL bagi Yahudi adalah sangat vital. Louise Jacobs seorang teolog Yahudi mengatakan “A Judaism without God is no Judaism. Ajudaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism” . Yang dimaksud Torah adalah lima kitab pertama atau Pentateuch dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (kejadian), Exodus (Keluaran), Letivicus (Imamat), Numbers (Bilangan) dan Deutronomy (Ulangan).
Menurut Elliot Friedman, meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin juga paling banyak dikaji manusia, tapi ia tetap masih misteri hingga kini. The Five Book of Moses tersebut adalah “It is one of the oldest puzzle in the world” karena sampai sekarang penulisnya daalah misteri.
Selama berabad-abad yang lalu kalangan Yahudi Kristen berkeyakinan PL (The Five Book of Torah / Pentateuch) ditulis oleh Musa sendiri. Namun saat ini, keyakinan itu tidak berlaku lagi dikalangan mayoritas sarjana teologi Yahudi Kristen. Salah satu orang yang menyatakan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat adalah Jerome (342-420 M). Ia menterjemahkan Septuagint kedalam bahasa latin (Vulgata) dan terjemahannya dianggap “textus receptus” bagi kalangan Kristen. Menurut Jerome, terdapat sejumlah paragraf dalam Taurat yang bukan karangan Musa. Namun, paragraf-paragraf tersebut telah dimasukkan oleh penulis lain. Menurutnya, “until this day” dalam sejarah kejadian 35:4 (LXX) dan ulangan (34:5-6) menunjukkan paragraf-paragraf tersebut telah ditulis setelah Musa.
Abraham Ibnu Ezra (1092-1167),seorang sarjana Yahudi berpendapat ada sejumlah paragraf di dalam Taurat yang menunjukkan Musa bukanlah pengarangnya. Andreas Bodenstein yang lebih dikenal dengan nama Karlstadt dalam karyanya menulis buku kecil “Die Canonicis Scripturis Libellus” (1520 M). Di dalam karyanya Karlstadt menegaskan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat (C. Houtman, The Pentateuch). Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris dalam karyanya Leviathan (1651), menyatakan kejadian 12:6 dan bilangan 21:14 bukanlah karangan Musa. Issac de la Peyrere (1592-1676), seorang pendeta Protestan berpendapat pengarang Taurat lebih dari seorang. Sebabnya banyak kisah dalam Taurat / PL yang kabur (obscurity), membingungkan (confusion), tidak lengkap (unfinished), terdistorsi (distorted), dan bertentangan (contradictions).
Baruch Spinoza (1632-1677) yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Benedict de Spinoza, seorang Teolog & Filosof Yahudi menegaskan Musa bukanlah pengarang Taurat. Spinoza beralasan (1). Penulis Taurat bukan saja berbicara tentang Musa sebagai orang ketiga, tetapi juga menyaksikan berbagai perkara yang detil mengenainya. Seperti “God talked with Moses”, “God spoke with Moses face to face”, “Moses was the meekest of men”, (Number 12:3), “Moses was wrath woth the captains of the host” (Number 31:41), “Moses, the servant of God, died”, “There was never arisen in Israel a prophet like Moses”, dan lain sebagainya. (2). Taurat bukan saja memuat kematian Musa, penguburannya, dan 30 hari ratapan orang-orang Yahudi, tetapi perbandingan antara Musa dengan semua nabi-nabi yang datang setelahnya. (3). Taurat memuat berbagi nama tempat yang ada setelah zaman Musa. (4). Berbagai kisah terkadang tersambung setelah meninggalnya Musa.
Spinoza kemudian berkesimpulan “Thus from the foregoing it is clear beyond a shadow of doubt that Pentat euch was not written by Moses, but by someone who lived many generation after Moses’. Kesimpulan Spinoza itu ternyata juga sama dengan kesimpulan Richard Simon (1638-1712), seorang pastor Katolik asal Prancis. Dalam hasil penelitiannya yang termuat dalam bukunya, Histoire critique du Vieux Testament (Historis-kritis Perjanjian Lama, tahun 1678) menyatakan Taurat adalah hasil dari proses kompilasi yang panjang (the result of a long process of compilation).
Kajian serius untuk meneliti bagaimana Taurat dihimpun, disusun sehingga menjadi sebuah teks yang utuh dilakukan oleh Jean Astruc (1684-1766). Ia meneliti sumber-sumber yang digunakan Musa untuk menyusun Taurat. Belakangan ini, diketahui sumber-sumber yang diperkirakan sumber dokumentasi dari Musa tersebut ternyata adalah merupakan hasil gabungan dokumentasi yang dilakukan oleh para editor yang tidak diketahui namanya. Jadi, mereka (para editor, red) yang sebenarnya bertanggungjawab atas susunan Kejadian (Genesis) yang ada sekarang ini
Jean Astruc dalam merekonstruksi dokumentasi Musa tersebut, membagi Taurat menjadi dua sumber dokumentasi. Dokumen pertama adalah dokumen yang teratur menggunakan kata Elohim untuk menyebut nama Tuhan (Kejadian 1) dan dokumen kedua secara teratur menggunakan kata Yahweh (Kejadian 2 & Kejadian 4). Dengan meneliti sumber yang digunakan untuk mengarang PL, Jean Astruc telah memformulasikan apa yang kelak disebut dengan metode kritik sumber (Source Criticism). Metode Source Criticism ini berkembang dan matang setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menerbitkan bukunya “Prolegomena to the History of Israel” tahun 1878.
Wellhausen lebih lanjut menyatkaan, sumber Musa untuk menulis Taurat berasa dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D, P. Materi dalam dokumen “J” (singkatan Jehova atau Yahweh) diduga ditulis sekitar 850 SM di kawasan kerajaan bagian selatan (kerajaan Yehuda). Materi dokumen “E” (singkatan dari Elohim) ditulis sekitar tahun 750 SM di kawasan kerajaan bagian utara (kerajaan Israel). Dokumen “E” dianggap lebih obyektif, kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis serta cenderung kepada kasus particular yang konkrit. Beberapa ilmuwan setelah Wellhausen, menyatakan menyatakan kedua dokumen tersebut sebenarnya sudah digabungkan sekitar tahun 650 SM oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE”, karangan tersebut menjadi lengkap setelah dengan materi “D” dan “P”. D ditulis sekitar tahun 621 SM dan P sekitar 570 sampai 445 SM. Material dalam dokumen P menyentuh asal muasal dan institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan. (Allan P Ross, Genesis).
1.Kritik Sejarah
Pendekatan Kritik Historis ini pertama kali diformulasikan oleh Herman Gunkel (1862-1932). Berbeda dengan kritik sumber yang hanya memfokuskan pada para pengarang atau penulis Bible dan kapan pengarang atau penulis itu berkarya, kritik historis lebih menekankan pada penelusuran latar belakang kemunculan teks dan pemikiran keagamaan para pengarang atau penulis. Mencari asal mula (Sitz im Leben) dari bentuk (Gattungen) yang digunakan, serta menelusuri asal mula motif dan tema di dalam dokumen-dokumen. Oleh sebab itu, kritik histories mencoba mensetting kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi oral dalam sejarah Bible, suatu zaman dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk dikaji.Menurut Gunkel, kritik sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitive yang masih ada dalam Taurat. Padahal memahami sruktur, seting, dan maksud dari setiap unit susastra di belakang materi PL yang eksis, merupakan hal yang penting. Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai dengan pengarang dan dokumen bagai mambangun rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan kritik sumber yang dilakukan Wellhausen, namun dalam pandangannya, penelitian genre PL adalah penelitian mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui genre atau jeni-jenis sastra yang terwakili dalam PL, maka kesusastraan Israel kuno secara menyeluruh, yaitu hubungan yang fungsional dengan seluruh kehidupan masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami. (C. Houtmann, Pentateuch)
Terinspirasi dengan analisa sejarah bentuk yang dibawa Gunkel, para ilmuwan lain seperti Gerhard von Rad (1901-1971) dan Martin Nort (1902-1968) memfokuskan perhatian kepada proses transmisi materi dalam fase-fase berikutnya, bukan pada fase-fase awal. Mereka meneliti unit-unit yang lebih kecil yang selama berabad-abad mengalami perubahan didalam bentuk serta isi dan dimasukkan kedalam Taurat dan sebagainya. Metode ini pada akhirnya disebut sebagai metode kritik-historis.
Dalam metode yang luas ini, terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (litetary criticism), kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun didalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.
kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup study bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
kritik sastra (litetary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan didalam gaya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan kandungan Bible akan lebih mudah dipahami. Jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bible diteliti.
Kata form criticism (kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Fongeschichte, yang artinya “sejarah bentuk” dan kata Fonngeschichte muncul pertama kalinya didalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibelius (1919). Disebabkan Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L. Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam study Perjanjian Baru. Ketika form criticism diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang mempercayainya, yang mendahului penulisan Bible. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikannya menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bible adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bible didalam berbagai bentuk.
Kritik redaksi (redaction criticism) didalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada ditangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui pengarang Bible. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.
Karena itu menjadi sebuah keniscayaan akademis untuk melacak sejarah lahirnya ilmu hermenutika sebagai metode eksgesis terhadap Bible, agar kita mendapat pemahaman yang utuh dan objektif. Karena bagimanapun suatu konsep tidaklah lahir dari sebuah kevakuman ruang dan waktu. Setiap ilmu, konsep, atau teori termasuk, termasuk hermenutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban. Implikasinya, suatu ilmu tidaklah bebas nilai dan karenanya proses mengimpor suatu ilmu tidak dapat dilakukan begitu saja kecuali melaui proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut oleh Profesor Arpalslan dengan “Borrowing Process”4. Artinya jika dalam Borrowing Process suatu ilmu tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam maka sah-sah saja untuk dipakai tetapi jika bertentangan maka harus ada sikap negoisasi yang jelas sehingga kemurnian konsep-konsep ilmu dalam Islam tidak tercemari dan pada waktu yang sama dapat terjaga orisinalitasnya.

SURVEI KRONOLOGIS KELAHIRAN HERMENEUTIKA
Dalam perspektif pandangan hidup, hermeneutika merupakan konsep atau teori yang lahir dan berkembang dari suatu milleu masyarakat. Milleui yang dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuwan.5
Werner menyebutkan tiga melliu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama Mellieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua mellieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga mellieu masyarkat Eropah di jaman Pencerahan (enlightment) yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika ke luar konteks keagamaan.6
Dengan menggunakan data tentang millieu yang mengitari perkembangan hermeneutika sebagai metode interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas, kita dapat menggambarkan pengaruh pendangan hidup terhadap hermeneutika dalam tiga fase, yaitu:
1.Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen
2.Dari teologi Yahudi dan Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3.Dari Hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika

Dari Mitologi ke Teologi
Dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya kepada Tuhan dalam bentuk mitologi. Aristotle, misalnya mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover itu menggerakkan tapi tidak bergerak, kuantitasnya satu secara absolut, tapi jumlahnya ada 55. Selain itu dalam mitologi Yunani juga terdapat dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan dari langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutika kemudian digunakan. Konsep ini resminya hanyalah digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makn, peran dan fungsi teks-teks kesusastraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.7 8
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani. Namun istilah Hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika.9
Selanjutnya dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, masyarakat Yunani menyelesaikannya dengan rasional lagos (kepercayaan pada prinsip-prinsip rasional adanya zat yang mengatur alam semesta).10 Pada tahap ini hermeneutika masih bersifat literal.
Selanjutnya Stoicism (300 SM) mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris; metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal.
Metode Alegoris ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode Alegoris, dimana dia secara kreatif menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi Yunani.11 Metode yang juga disebut tipologi ini mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau informasi dari teks, tetapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu diluar teks.12 Ia tidak mengabaikan makna literal, tetapi makna literal dipandang rendah, primitif, dan perlu diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan).
Metode Hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.13 Dimana dengan pendekatan in idia mengkategorikan makna Bible dalam tiga kategori, yaitu: literal, moral, allegoris. Yang terakhir itulah yang paling tertinggi tingkatannya. Teorinya ini merupakan pengembangan dari filsafat Paulus dan Yunani bahwa tubuh manusia terdiri atas body, soul, spirit.14 Selanjutnya teorinya tentang tiga lapis makna Bible dikembangkan lagi oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna dengan menambah satu makna lagi yaitu anagogis (spiritual).
Namun metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini mendapat resistensi dan perlawanan dari aliran literan dan historis yang berpusat di Antioch. Pertentangan ini merepresentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Aliran ini simbolik berada di bawah bayang-bayang hermeneutika Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Peri Hermenias. Hanya saja kalangan Kristen menganggap karya Aristotle yang lebih menekankan pada semantik dan logika dapat membahayakan keimanan Kristiani.15
Dari perseteruan dua aliran hermeneutika muncul seorang tokoh Kristen yang sangat terkenal yaitu St. Augustine of Hippo (354-430), yang mencoba mengambil jalan tengah dengan cara mencoba memadukan dua aliran tersebut, yaitu dengan memberi makna baru kepada hermenutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris terhadap teks Bible yang cenderung arbitrer dan juga literalisme yang terlalu simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis. Meskipun munculnya St. Augustine dianggap awal terjadinya assimilasi teologis dalam hermeneutika, namun pemikirannya belum bisa menghilangkan pengaruh world view Yunani, khususnya Platonisme. Konsepnya tentang Tuhan dan cosmos bercampur dengan worldview Yunani, sehingga resistensi dari kalangan gereja tidak dapat dihindari. Tokohnya Vincent of Lerins mengarahkan pembacaan teks menajdi lebih formalistis dan cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks.16
Perkembangan pemikiran hermeneutika yang patut dicatat dalam teologi Kristen terjadi pada awal abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-247). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan Neo-Platonisme St. Augustine. Ia mengatakan bahwa “Pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk pada peri hermeniasnya Aristotle. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi teologis kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus penolakannya terhadap interpretasi allegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang sangat berharga bagi pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi kitab yang sakral. Padahal teks-teks Bible itu dieksploitasi untuk menjustifikasi premis-premis teologis mereka yang telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran spekulasi filosofis. Dimana spekulasi filosofis mereka banyak dipengaruhi oleh filsafat humanisme yang sudah mulai berkembang di tengah masyarakat barat dan diterima oleh para pendeta waktu itu.17 Dan teori interpretasi humanis, sebenarnya sangat bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja.
Kondisi dan kecenderungan seperti itu makin berkembang dikalangan teolog Kristen. Hal ini diperparah lagi oleh sikap para tokoh reformis Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) yang menunjukkan perlawanan terhadap otoritas gereja.
Prinsip hermeneutika yang diyakini protestan, khususnya Luther, adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa kita tumbuh dan bukan dari luar teks. Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung pada pengalaman yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura (cukup hanya kitab suci) yaitu Bible saja telah merupakan petunjuk yang jelas untuk memahami Tuhan.
Hanya saja teori mereka dianggap naif dan tidak memuaskan karena tidak dapat mengatasi kesulitan bacaan dalam suatu peragaraf dan tidak dapat mengelak interpretasi yang arbitrer.
Ternyata dengan kedua model hermeneutika diatas para teolog tidak dapat mengatasi problema teks Bible. Mereka dibingungkan oleh pilihan antara mengikuti mellieu masyarakat barat atau setia pada teks Bible. Kebingungan ini terjadi karena, seperti yang ditegaskan oleh Huston Smith, rasionalisme telah merasuki teologi pada awal abad pertengahan, tapi pada waktu yang sama pandangan dan keimanan Kristiani masih menguasai alam pikiran orang-orang Kristen, sehingga apapun keadaannya mereka tetap berpihak kepada pernyataan Tuhan dalam Kitab “Suci” itu. Bukti yang paling jelas adalah ketika para teolog, baik Katholik maupun protestan, bersama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624).18
Kondisi pertentangan teologis inilah dan tentu saja juga karena adanya problema teks Bible sendiri yang terjadi di sekitar lahirnya hermenutika pada awal abad pertengahan, dimana saat itu hermeneutika masih berada dibawah sangkar teologi Kristen yang bercampur di bawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Hermeneutika yang diadopsi oleh para teolog Kristen untuk menyelesaikan problema teks dan teologis Kristen, ternyata tidak dapat membantu. Hermeneutika sebagai sebuah metode exegesis tidak dapat menemukan kebenaran-kebenaran Bible. Sehingga ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan mulai goyahnya otoritas gereja oleh pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasionalisme barat, maka hermeneutika dimaknakan dan didevinisikan pada makna yang bersifat filosofis.

Dari Teolog ke Filsafat
Beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah dan rasional barat. Dalam masa itu, dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata pada masa lampau menjadi relevan dan berarti bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan inti pesannya. Bagi mereka repitisi atau reproduksi ungkapan-ungkapan dalam Bible hanya akan membuat pesan-pesan Bible menjadi tidak relevan. Disini, hermeneutika dalam pengertian tradisional tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang memadai untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Karena itu hermeneutika berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi interpretasi, tapi metodologi memahami dan obyek yang difahami pun menjadi terbuka.19
Karya J. C Dannheucer, berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacracum Litterarum (Sacred Method or Method of Explanatio of Sacred Literature) terbit pada tahun 1654, dianggap karya yang pertama kali memaknai hermeneutika sebagai the art of interpretation. Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dengan exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipunpengertiannya sama tapi obyeknya diperluas kepada non-biblical literature. Bahkan mulai timbul pandangan bahwa interpretasi Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi teks-teks lain. Disini mereka sudah mulai menempatkan Bible bukanlagi sebagai kitab keagamaan yang sakral.20
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan reformasi Protestan pada abad ke 16, pada abd pencerahan (Enlightment). Derasnya arus pemikiran Enlightment ini banyak dipengaruhi oleh Universitas Halle, dimana dosen-dosen yang terdiri dari para teolog dan filsof, yang mengajarkan pada Universitas itu, seperti Christian Wolf, Siemnd J Baumgarten, dalam kuliah-kuliah mereka selalu menunjukkan semangat penggunaan akal yang berlebihan. Akibatnya, saat itu, masyarakat Eropa sudah cenderung kepada penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas tradisional.21
Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleimermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle, menandai babak baru metode filsafat hermeneutika. Materi kuliahnya “Universal Hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpengaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Dia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Pandangannya terhadap agama sama dengan Immanuel Kant. Menurutnya, beragama tidak bisa diartikan sebagai usaha mencapai ilmu transendent, sebab ilmu ini tidakmungkin dicapai.22
Filsafat hermeneutikanya bermula dari pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi?. Dalam hal ini, ia mengajukan dua teori pemahaman hermenutikanya; pertama pemahaman ketatabahasaan terhadap semua ekspresi, kedua, pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini, Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut dengan intuitive understanding yang dalam bentuk operasionalnya merupakan suatu kerja rekonstruksi, yaitu: hermeneutika bertugas merekonstruksi pikiran pengarang.23 Dan kerja rekonstruksi ini hanya dapat dilakukan dengan kegiatan an act of devination (devinasi atau ramalan dan dugaan) yang dengan itu sang interpreter menghadirkan kemabli kesadaran pengarang.
Itulah sebabnya, Al-Attas menegaskan bahwa epistimologi hermeneutika berangkat dari spekulasi filosofis yang bertumpu pada akal belaka.24 Dalam kaitannya dengan Al-qur’an teori Fredrich Schleiermacher ini sangat irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin bisa memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al-qur’an.24 Tidak ada seorangpun mufassir dikalangan mufassir akan mengatakan bahwa mereka lebih bisa menerti daripada pengarang Al-qur’an, Allah SWT.25 Bahkan sebaliknya para mufassir dalam banyak kitab tafsir lebih banyak mengatakan wallahu Al-qur’an’lam bimuradihi ketika misalnya berhadapan dengan ayat-ayat muqata’ah.
Hermeneutika Schleiermacher mendapat kritikan dan juga makan baru dari seorang filsof, kritikus sastra, sejarahwan asal Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurutnya hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan.26 Berdasarkan devinisi ini, Dilthey menegaskan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.27 Pemikiran hermeneutikanya berangkat dari kegelisahannya akan ketiadaan metode yang tepat bagi ilmu-ilmu kultural28, karena itu ia mencoba mengangkat hermeneutika sebagai suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam. Ringkasnya, menurutnya hermeneutika universalnya layak dipertimbangkan sebagai landasan epistimologis bagi ilmu-ilmu sosial kultural (humaniora), dan tidak sekedar sebagai ilmu pemahaman atau penafsiran teks, karena itu ia mencurahkan pemikiran dan waktunya menulis gagasan Critique of Historical Reason.
Hermeneutika historisnya Dilthey yang diarahkan menjadi dasar teori bagi ilmu kemanusiaan, dikembangkan lagi oleh Martin Heideger (1889-1976) ke arah kajian ontologis; yaitu bahwa teks tidak hanya sekedar dipahami dengan kamus dan grammer, tetapi ia memerlukan pemahaman terhadap makna kehidupan, situasi pengarang dan audiennya.
Bagi Heidegger hermeneutika berarti penafsiran esensi (being). Dalam kenyataannya esensi itu selalu tampil dalam eksistensinya. Suatu peristiwa kebenaran tidak lagi ditandai dengan kesesuaian antara konsep dengan realitas obyektif, tetapi dilihat sebagai peristiwa tersingkapnya esensi tersebut, sementara itu satu-satunya wahana bagi penampakan being atau esensi tersebut adalah eksistensi manusia itu sendiri, maka hermeneutika adalah penafsiran terhadap manusia itu sendiri (Dasein) melalui bahasa.29 Jadi Dasein (Suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan obyek atau orang) itu sendiri merupakan pemahaman dan interpretasi esensial dan terus-menerus. Dan kesadaran eksistensi itu juga harus menginterpretasikan berbagai entitas dalam dunia, seperti meja sebagai meja dan kursi sebagai kursi.30
Maka, menurutnya hermeneutika adalah ciri khas yang sebenarnya dari manusia, dimana memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar bagi eksistensi manusia.31
Pemahamannya yang demikian terhadap hermeneutika, karena landasan filosofis dan epistimologi Heidegger berada dibawah pengaruh aliran filsafat fenomonologi yang ditafsirkan dan dipimpin oleh Edmund Husserl (1859-1938) yang diantara prinsipnya adalah bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.
Tentu hermeneutika model ini juga tidak dapat diterapkan sebagai metode interpretasi terhadap Al-qur’an. Hal ini karena manusia tidak mungkin bisa mempersepsikan seluruh bentuk wujud. Bagaimanakah cara manusia menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian transendental dan supranatural yang wilayahnya berada diluar kesadaran manusia.??
Bisa jadi hermeneutika model ini akan membuang ayat-ayat tentang zat Allah, dengan alasan tidak bisa dijangkau oleh kesadaran manusia.
Pemikiran hermeneutik Heidgger ini diteruskan oleh Hans Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Methods. Dalam buku itu ia tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi tapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya, ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada ontologis bukan metedologis. Artinya kebenaran tidak dapat dicapai melalui dialektika.32
Berkaitan dengan aktifitas pemahaman teks tertulis, Gadamer menegaskan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya pada apa yang dimaksud oleh pengarang atau penulisnya saja, atau hanya kepada audiens yang dituju oleh tulisan itu, karena itu menurutnya pemahaman dan pengalaman manusia itu unik dan tidak sama. Itulah sebabnya, Gadamer sangat membenci adanya pemutlakan suatu metode untuk mencapai kebenaran.33
Dalam proses memahami suatu teks selalu didahului oleh pra pemahaman sang pembaca terhadap teks dan kepentingannya untuk berpartisipasi dalam makna teks. Kita selalu mendekati teks dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan dalam teks yang akan kita coba masuki dalam konteks ruang dan waktu kita sebagai penafsir.34 Berangkat dari sini, untuk memahami tradisi dan teks masa lampau, Gadamer merumuskan satu teori hermeneutikanya yang dikenal ia sebut dengan effective historical consciousnes, yang medium struktur utamanya adalah bahasa. Teori ini melihat adanya tiga kerangka waktu yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau dimana teks itu dilahirkan. Dari teks masa lampau itu bukan milik si penyusun lagi melainkan milik setiap orang. Mereka bebas menafsirkannya. Kedua, masa kini yang didalamnya ada penafsir dengan prejudice (persangkaan) masing-masing. Prasangkaan-prasangkaan tersebut pada akhirnya akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul satu penafsiran yang sesuai dengan konteks sang penafsir. Ketiga, masa depan dimana didalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.dalam masa depan inilah terkandung effective historical.35
Inti pemikiran hermenutika adalah bahwa penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Mereka senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsiran merupakan reinterpretation memahami teks secara baru dan makna baru pula.36
Pendapat ini tentu saja akan mengacaukan nilai kebenaran mutlak Al-qur’an, dengan alasan karena antara satu penafsir pada jaman yang satu dengan satu penafsir pada jaman yang lain akan berbeda hasil penafsirannya, dan karenanya relatif, oleh karena ada perbedaan konteks dan tradisi masing-masing interpreter. Bagi kaum muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan yang akan datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial budaya. Tafsir yang dilakukan dan dihasilkan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih banyak terdapat kesepakatan diantara para mufassir, sekalipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.37
Jurgen Habermas mengkritik Gadamer sebagai kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Bagi Gademer pemahaman didahului penilaian (pre-judgment), bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon adalah kepentingan sosial (social interes) yang melibatkan kepentingan kekuasaan sang interpreter dan khususnya komunitas-komunitas inerpreter yang terlibat dalam dalam interpretasi.38 Gaya hermeneutikanya sangat dipengaruhi oleh epistimologi marxis. Karena memang dia berada di bawah atmosfer kesarjanaan universitas dan aliran Frankfrut yang sangat setia pada paradigma marxis.39
Demikian perubahan dan perkembangan hermeneutika. Kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan itu sangat berkait erat dengan melliu yang membentuk pandangan hidup masing-masing penggagasnya, yang itu sangat berpengaruh terhadap style of though, gaya berpikir mereka.

Hermeneutika: Devinisi, Konsep, dan aliran-alirannya
Hermeneutika, yang meminjam bahasa Inggris hermeneutics, dan juga berasal dari perkataan Greek Hermeneutikos, bukan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (worldview, weltanchauung).40 Apabila perkataan ini dikaitkan dengan Al-Qur’an ataupun dengan Beblical studies arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki arti sendiri. Karena itu akan kita bahas terlebih dahulu makna hermeneutika dari dimensi bahasanya.
Dari segi bahasa, misalnya Aristoteles pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya peri hermeneis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpeitation. Namun sebelum terjemahan bahasa latin, Al-Farabi seorang filsafat muslim terkemuka, telah diterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles itu terlebih dahulu ke dalam bahasa arab dengan judul Fi al-Irabah.41
Hermeneutika berasal dari akar kata kerja herme-neunei (menafsirkan) atau kata benda herme-neia (interpretasi). Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bible”. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja herme-neuien dan kata benda herme-neia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Mediasi dan proses membawa pesan ”agar dapat dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung didalam tiga bentuk makna dasar dari herme-neuien dan herme-neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari herme-neuien, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3) makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata bahasa Inggris, to explaine, dan to translate atau to interpret.42
Pengasosiasian hermeneutika dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur utama dalam hermeneutika atau aktifitas penafsiran, yaitu:43
1.Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran
2.Perantara atau penafsir
3.Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (pembaca)
Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneutika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri. Pertama, hermeneutika sebagai teori eksegesis Bible. Pada mulanya hermeneutika memang ditujukan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam interpretasi Bible. Kedua, hermeneutika sebagai metode filologis. Perkembangan rasionalisme yang kemudian lahir bersamaan dengan filologi klasik pada abad VIII memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan hermeneutika. Hermeneutika selanjutnya muncul sebagai metode kritik historis dalam teologi; baik mazhab interpretsi Bible “gramatis,” maupun “historis”. Pada akhirnya, metode interpretasi yang diaplikasikan pada Bible ternyata juga digunakan pada buku yang lain. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bible, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam interpretasi teks. Keempat, hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur utama pada perkembangan hermeneutika tahap ini. Ia melihat bahwa hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften, yakni semua pemahaman yang memfokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya akan dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik. Ia mengatakan bahwa Sang Ada yang dapat dipahami adalah bahasa. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna versus inkonaklasme. Titik balik kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan sentral dalam hermeneutika. Menurut Paul Ricour, yang dimaksud denga hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan lain perkataan, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna tependam yang tersembunyi.44
Patut dijelaskan, bahwa Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah yang berkembang di jaman modern ini. Hermenias yang dia kemukakan sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pikiran dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentences), ungkapan (preposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa.45
Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa ke pengertian istilah merupakan suatu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan telah sepakat bahwa perpindahan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang teks-teks kitab suci mereka.46
Selanjutnya, hermeneutika dalam kapasitasnya sebagai seni menafsir dan memahami teks untuk menguak dan mencapai kebenaran, dalam disiplin filsafat, memiliki dua aliran, yaitu:
1.Aliran objektif. Aliran objektif didukung oleh antaranya Freidrich Schleimacher (1768-1834), Wilheim Dilthey (1833-1911), dan Emilio Batti (1890-1968).
Hermenutik, meurut aliran ini, menghasilkan kefahaman yang objektif. Hermeneutik, menurut Schleimacher (1768-1834), melibatkan dua rangka utama, yaitu memahami teks melalui pendekatan tata bahasa dan pendekatan psikologi. Wilheim Dilthey (1833-1911) berpendapat hermeneutik tertakluk kepada sejarah, yaitu melibatkan tiga proses utama; (1) memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli; (2) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah; dan (3) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup. Hermenutik, menurut Betti, melibatkan proses “triadic”, yang melibatkan; (1) pengarang (creative mind); (2) penghurai (interpreter); dan (3) “meaningful forms” sebagai perantara. Beliau merangka empat aturan atau prinsip umum (canon) dalam usaha untuk memahami teks secara yang objektif. (1) teks sebagai objek yang coba dipahami itu mempunyai autonominya yang tersendiri. (2) teks harus dipahami dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. (3) Pengurai harus memahami proses atau pengalaman kreatif. (4) Pengurai harus menyamakan pengalaman hidupnya sedekat mungkin atau secara harmoni dengan pengalaman yang dilalui oleh pengarang.
2.Aliran Subjektif. Aliran subjektif pula didukung antaranya oleh Martin Heidegger (1889-1976)47 dan Hans-Georg Gadamer. Gadamer mengalih perhatian kepada perbahasan tentang prasyarat (conditions) yang memungkinkan kefahaman yang objektif. Beliau menegaskan bahwa kaedah yang diambil dalam memahami fenomena sosial atau alam tertakluk kepada sejarah (effective history). Dengan kata lain, seseorang yang coba memahami suatu objek telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh andaian-andaian terdahulu (sejarah) tentang objek yang menjadi kajiannya dan juga dalam menentukankaedah yang harus diambil. Oleh karena itu, telah ada “bias” atau “prejudice” dalam setiap kefahaman. Kefahaman dengan itu adalah gabungan atau pertemuan di antara dua pandangan yaitu pandangan-pandangan terdahulu dan kini atau diantara para pembaca dan penulis (fusion of horizons). Kefahaman, menurut Gadamer, adalah subjektif.48

Hermeneutika dan Akal Muslim Modernis. Studi Kritsi atas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arqon.
Pemikiran Hermeneutika Abu Zayd
Merebaknya gagasan untuk menjadikan hermenutika sebagai salah satu metode untuk menafsirkan Al-Qur’an dikalangan cendekiawan muslim modernis, termasuk adanya kecenderungan yang kuat menggunakan metode ini di kalangan muslim modernis Indonesia, bahkan hermeneutika menjadi salah satu mata kuliah wajib di beberapa IAIN di Indonesia49, patut mendapat perhatian dan studi kritis analitis untuk menemukan sejumlah kesalahan dan kekurangannya. Ide mereka tentang hermeneutika Al-qur’an perlu merupakan imperialisme epistimologi yang wajib dilawan. Bgaimanapun hermeneutika bertentangan secara diametral dengan kaidah-kaidah epistimologi Islam.
Salah satu penggagas hermeneutika Al-qur’an yang pemikiran dan idenya perlu dibumi hanguskan dari dunia pemikiran Islam adalah Nashr Hamid Abu Zayd.
Menyimak sejumlah buku Abu Zayd, dengan mudah dapat dibaca ia begitu menaruh perhatian pada aspek teks. Ia katakan bahwa peradaban Arab Islam adalah “peradaban teks”. Maka, ia tulis buku-buku yang berkaitan dengan persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti mafhum al-Nash Dirasah fil ulumul Qur’an dan Naqd al-Khitab ad-Dini.50
Konsep Nashr Hamid ini dalam kedua bukunya itu membawa dampak pada metode penafsiran teks Al-Qur’an, dimana ia mengecam keras metode tafsir Ahlu Sunnah yang menempatkan hadith Nabi saw sebagai penafsir utama utama ayat-ayat Al-Qur’an. Jika Bible memiliki pengarangnya masing-masing, maka Nasr Hamid, dengan kecerdasan yang bercampur dengan kelicikan sehingga cenderung keculas mencoba menempatkan Nabi Muhammad saw dalam posisi “seperti” pengarang Al-Qur’an.
Menurutnya Al-Qur’an diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad sebagai seorang manusia. Bahwa Muhammad sebagai penerima pertama dan sekaligus sebagai penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat. Muhammad bukanlah penerima pasif. Membicarakan Muhammad, kata Abu Zayd, juga harus berarti membicarakannya yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya Muhammad adalah bagian dari realitas sosial, budaya, dan sejarah masyarakatnya.50
Mengenai Al-qur’an, Abu Zayd tidak menganggapnya bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya, Zayd menganggap Muhammad bukanlah sebagai seorang ummi; seorang penerima pasif, tapi juga mengolah redaksi Al-Qur’an. 51 Konsepnya tentang nash Al-qur’an yang dianggapnya hanya sebagai spirit wahyu mengindikasikan dia mengadopsi konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi kristen, khususnya tradisi kritik teks Bible. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj as-tsaqafi). Disini Abu Jayd telah mendekonstruksi makna wahyu.
Berikut ini kami paparkan pokok kesesatan pemikiran Abu Zayd dan bantahannya
1.Menganggap Al-quran sebagai produk budaya
Menganggap Al-Qur’an sebagai produk sejarah jelas merupakan kesalahan dan kesesatan yang menjadikan pelakunya murtad. Pendekatannya terhadap Al-Qur’an memang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas ini digunakan, maka seseorang juga akan dipengaruhi oleh metode, pandangan hidup, dan idiologinya. Dan metode ini sangat sulit menghindar dari unsur subyektivitas. Dan itulah akar masalahnya. Karena dari awal ia sudah berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, maka pemaknaan kesimpulannya akan mengkondisikan seluruh struktur berpikirnya diatas semua asumsi dan karena ia terjebak pada rasionalisme subyektivitasnya sendiri.
Teks-teks Al-Qur’an memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tapi Al’Qur’an tidak tunduk pada budaya, melainkan sebaliknya. Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun suatu pola pemikiran dan peradaban yang baru, sebutlah misalnya istilah-istilah dan konsep-konsep yang sudah mapan dalam budaya dan tradisi masyarakat Arab seperti kata muruwwah dan karim, ternyata dirubah oleh Al-Qur’an.
Kata penghormatan (karim) merupakan istilah kata kunci dalam kosa kata jahiliyah yang secara apa adanya berarti “kemuliaan garis keturunan yang berkaitan erat dengan kedermawanan yang luar biasa. Meskipun demikian Al-Qur’an menggantikan medan semantiknya sebagaimana yang dikenal oleh jahiliyah dan menjadikannya mempunyai arti di sekitar makna taqwa.52
Begitu juga kata ikhwah yang berkonotasi kekuatan dan kesombongsukuan, yang terkait dengan darah dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah53 proses perubahan medan semantik ini, oleh al-Attas disebut sebagai Islamisasi bahasa.
Ini berarti bahwa Al-Qur’an bukanlah produk yang dibentuk oleh budaya, tradisi dan realitas sejarah waktu itu. Seandainya Al-Qur’an merupakan produk budaya, mengapa sampai saat itu, saat ini dan pasti saat yang akan datang tak ada orang yang mampu menandingi makna dan lafadz A-lQur’an, minimal dari keindahan bahasanya.
Kaum muslim selama ini yakin bahwa Al-Qur’an, baik makna atau lafadznya adalah dari sisi Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat dan seketika itu. Posisi beliau dalam menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum. Al-Qur’an menyebutnya: “ Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (Q.S An-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima wahyu. (Q. S Fushilat: 6).54
2. Pengusungan ideologi sekularisme (baca hasil analisis Dr. Anis Malik Toha dalam majalah Islamia Thn I, No 2, Agustus 2004, hal 28-32)

Hermeneutika dan Tasfir: Studi Komparatif
Akhir-akhir ini, hermeneutika sebagai sebuah metode tafsir sedang digandrungi oleh para intelektual muslim Indonesia. Diskusi-diskusi tentang hermeneutika marak dikembangkan kelompok-kelompok Islam seperti Paramadina, JIL, dan lain sebagainya. Hermeneutika identik dengan kajian sebuah teks. Karena berkaitan dengan sesuatu yang berupa teks, merekapun mencoba metode tersebut untuk menguji berbagai teks Islam, termasuk juga Al-Qur’an. Al-Qur’an berupa teks. Maka tentu Al-Qur’an juga dipelajari dengan hermeneutika. Alasannya, dengan hermeneutika hal-hal yang berbau kemapanan, hegemoni ideologisasi dan standarisasi penafsiran teks akan tampak jelas dan rasional.55 Artinya mereka menuduh bahwa tafsir sebagai metode yang dipakai oleh para ulama tidak obyektif. Benarkah demikian?
Ilmu pertama yang lahir dikalangan umat Islam adalah ilmu tafsir. Ia menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah bahasa Arab.55 Ilmu tafsir adalah penting karena ia merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya imam at-Thabrani menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang digunakan umat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab Suci Al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.56


Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

artikel menggugah

SAPEKEN MENCARI INDONESIA

(Sebuah Renungan Ringan Dari Rantau)

Oleh Rahmatul Ummah

(Alumni dan Pendiri HIMAS, Sedang Kuliah S2 di Universita Lampung)

Sontak Indonesia geger, karena isu penjualan beberapa pulau-pulau dalam wilayah NKRI beberapa waktu yang lalu. Perhatianpun tertuju ke pulau-pulau yang dulunya nyaris tidak pernah mendapat perhatian itu. Sebutlah salah satunya pulau Sitabbok di Kecamatan Sapeken.

Akan tetapi, tulisan ini sengaja tidak akan mengupas lebih dalam masalah penjualan pulau tersebut, biarlah itu menjadi persoalan dan kewenangan aparat yang memiliki tugas menjaga kedaulatan bangsa ini. Penulis hanya akan memulai tulisan ini dari pertanyaan apa yang sudah pernah kita pikirkan tentang masyarakat pulau Sitabbok selain dari isu penjualan pulau tersebut? Pernahkah kita berfikir tentang kondisi kesejahteraan masyarakatnya? Pernahkah kita berfikir tentang pembangunan SDMnya? Tahukah kita bahwa di sana sama sekali tidak ada institusi Pendidikan? Bagaimana mereka bertahan untuk hidup dan berada dalam kondisi yang tetap sehat tanpa obat-obatan dan tenaga kesehatan?

Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan pertanyaan itu ingin menggugah Indonesia untuk kembali lebih peduli terhadap warga Negara yang terisolir dan terpencil. Mungkin terlalu kecil untuk membicarakan pulau Sitabbok, tapi marilah kita melihat kondisi riil dari masyarakat Kepulauan setelah kasus-kasus ini.

Secara administratif pulau Sitabbok berada di kecamatan Sapeken yang merupakan salah satu kecamatan di Kepulauan Kangean yang termasuk dalam kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan Desa yang terdiri dari lima puluh dua pulau termasuk yang tidak berpenghuni.

Jika mau menilai secara obyektif, Kecamatan Sapeken telah mendapat perlakuan diskriminatif sejak kemerdekaan Republik ini, hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya perhatian yang serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten Sumenep. Padahal eksploitasi sumber daya alamnya telah dilakukan sejak tahun 1960-an sampai sekarang. Hasil pertambangan berupa gas bumi telah di mulai sejak tahun 1960 di pulau Saur, dan selanjutnya sampai sekarang dilanjutkan kembali di Pagerungan Besar, Pangerungan Kecil, Sadulang dan Pulau Sepanjang. Jumlah produksi gas alam Pagerungan (menurut data Pertamina) Gas Production = 350.000.000 MSCF (Million Standart Cubic Feet) per hari. Yang disalurkan melalui pipa bawah laut sepanjang 450 km menuju Porong (sebagai home base). Dari home base ini kebutuhan gas alam dipasok antara lain untuk memenuhi kebutuhan di Petro Kimia; Perusahaan Gas Negara dan PT. PJB Unit Pembangkit Listrik, Nilai produksi = total Indonesia Share (bruto) $83.558.000/9 bulan (Januari s/d september) atau sekitar Rp. 781.267.300.000,- (pada tahun 2004). Ini belum ditambah hitungan hasil eksploitasi gas alam di Pulau Sepanjang.

Sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar kepada daerah kabupaten Sumenep, mestinya pembangunan di kecamatan Sapeken jauh lebih maju. Namun, kenyataan yang sebenarnya hampir di luar nalar sehat kita, tingkat buta huruf di kepulauan kecamatan Sapeken hampir mencapai angka 20%, yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sabuntan, Sakala, Sitabbok, Paliat, Saur, Saibus, Sepanjang dan beberapa pulau lain, angka lulusan SD mencapai 72,55%, dan lulusan SMP hanya sebesar 5,66% dan SMU sebesar 1,77% dan Perguruan Tinggi hanya mencapai 0,02%. Dan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah hanya menyediakan satu tenaga dokter pada tahun 2005 untuk jumlah penduduk yang hampir mencapai 45 ribu jiwa, yang sebelumnya hanya seorang mantri, sehingga kebutuhuan terhadap pelayanan kesehatan yang layak tidak terpenuhi, dan angka kematian ibu dan bayi dari tahun ke tahun tetap stabil dalam angka yang besar, karena hanya mengandalkan tenaga dukun bayi.

Diperparah oleh pelayanan publik yang lain, yang hampir seluruh tenaga yang diperbantukan untuk bertugas melayani masyarakat kecamatan Sapeken adalah orang-orang jauh, berasal dari daratan Jawa dan Madura, sehingga beresiko paling tinggi untuk tidak masuk kerja dan makan gaji buta.

Kenyataan itu bisa dibuktikan pada kantor UPTD Pendidikan dan UPTD Kelautan dan Perikanan, bahkan penulis sampai sekarang tidak sempat mengenal siapa yang bertugas sebagai Kepala Kantor Pelabuhan Sapeken.

Dan yang paling menyedihkan adalah puluhan guru yang bertugas dikepulauanpun lebih banyak liburnya, sehingga terpaksa beberapa sekolah harus meliburkan muridnya, bahkan di tengah tuntutan sertifikasi guru, masih ada sekolah di kepulauan kecamatan Sapeken yang tenaga pengajarnya adalah lulusan SD tersebut, karena terbatasnya tenaga pengajar, lihatlah misalnya di SDN VIII di pulau Saur.

Jarak tempuh dari daratan Sumenep yang memakan waktu hingga 24 jam, dan transportasi tersedia hanya dua kali perjalanan persepuluh hari menuju Sapeken, adalah salah satu alasan tidak efisien dan efektifnya kinerja pelayanan publik oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep. Namun, persoalan yang sudah akut ini tidak kunjung mendapat penyelesaian yang baik. Sapeken seolah kehilangan tempat untuk mengadu.

Selain persoalan kinerja pelayanan publik, ancaman paling serius yang dihadapi masyarakat Sapeken adalah pengrusakan terumbu karang dan komunitas biota laut lainnya oleh nelayan liar yang berasal dari luar daerah Sapeken (atau pemilik modal di Sapeken “yang gila”), masyarakat Sapeken seolah tidak berdaya menghadapi ancaman itu, karena rata-rata nelayan yang datang itu dilengkapi dengan alat-alat yang canggih.

Apa yang penulis paparkan di atas, adalah jeritan hati masyarakat kepulauan, yang hari ini tidak mengenal Indonesia dan bisa jadi sudah tidak pernah punya keinginan lagi untuk kenal Indonesia. Mungkin, Indonesiapun hari ini baru mau berkenalan dengan pulau Sitabbok Kecamatan Sapeken, karena pertaruhan nilai nasionalisme. Nasionalisme yang sudah lama tercerabut dari hati elit bangsa ini, karena tidak pernah bisa merasakan keperihan hati masyarakat kepulauan yang terpencil dan terisolir. Dan mungkin Sapeken hanyalah salah satu pulau yang mengalami diskriminatif pembangunan itu. Wallahu’alam