artikel menggugah

SAPEKEN MENCARI INDONESIA

(Sebuah Renungan Ringan Dari Rantau)

Oleh Rahmatul Ummah

(Alumni dan Pendiri HIMAS, Sedang Kuliah S2 di Universita Lampung)

Sontak Indonesia geger, karena isu penjualan beberapa pulau-pulau dalam wilayah NKRI beberapa waktu yang lalu. Perhatianpun tertuju ke pulau-pulau yang dulunya nyaris tidak pernah mendapat perhatian itu. Sebutlah salah satunya pulau Sitabbok di Kecamatan Sapeken.

Akan tetapi, tulisan ini sengaja tidak akan mengupas lebih dalam masalah penjualan pulau tersebut, biarlah itu menjadi persoalan dan kewenangan aparat yang memiliki tugas menjaga kedaulatan bangsa ini. Penulis hanya akan memulai tulisan ini dari pertanyaan apa yang sudah pernah kita pikirkan tentang masyarakat pulau Sitabbok selain dari isu penjualan pulau tersebut? Pernahkah kita berfikir tentang kondisi kesejahteraan masyarakatnya? Pernahkah kita berfikir tentang pembangunan SDMnya? Tahukah kita bahwa di sana sama sekali tidak ada institusi Pendidikan? Bagaimana mereka bertahan untuk hidup dan berada dalam kondisi yang tetap sehat tanpa obat-obatan dan tenaga kesehatan?

Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan pertanyaan itu ingin menggugah Indonesia untuk kembali lebih peduli terhadap warga Negara yang terisolir dan terpencil. Mungkin terlalu kecil untuk membicarakan pulau Sitabbok, tapi marilah kita melihat kondisi riil dari masyarakat Kepulauan setelah kasus-kasus ini.

Secara administratif pulau Sitabbok berada di kecamatan Sapeken yang merupakan salah satu kecamatan di Kepulauan Kangean yang termasuk dalam kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan Desa yang terdiri dari lima puluh dua pulau termasuk yang tidak berpenghuni.

Jika mau menilai secara obyektif, Kecamatan Sapeken telah mendapat perlakuan diskriminatif sejak kemerdekaan Republik ini, hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya perhatian yang serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten Sumenep. Padahal eksploitasi sumber daya alamnya telah dilakukan sejak tahun 1960-an sampai sekarang. Hasil pertambangan berupa gas bumi telah di mulai sejak tahun 1960 di pulau Saur, dan selanjutnya sampai sekarang dilanjutkan kembali di Pagerungan Besar, Pangerungan Kecil, Sadulang dan Pulau Sepanjang. Jumlah produksi gas alam Pagerungan (menurut data Pertamina) Gas Production = 350.000.000 MSCF (Million Standart Cubic Feet) per hari. Yang disalurkan melalui pipa bawah laut sepanjang 450 km menuju Porong (sebagai home base). Dari home base ini kebutuhan gas alam dipasok antara lain untuk memenuhi kebutuhan di Petro Kimia; Perusahaan Gas Negara dan PT. PJB Unit Pembangkit Listrik, Nilai produksi = total Indonesia Share (bruto) $83.558.000/9 bulan (Januari s/d september) atau sekitar Rp. 781.267.300.000,- (pada tahun 2004). Ini belum ditambah hitungan hasil eksploitasi gas alam di Pulau Sepanjang.

Sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar kepada daerah kabupaten Sumenep, mestinya pembangunan di kecamatan Sapeken jauh lebih maju. Namun, kenyataan yang sebenarnya hampir di luar nalar sehat kita, tingkat buta huruf di kepulauan kecamatan Sapeken hampir mencapai angka 20%, yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sabuntan, Sakala, Sitabbok, Paliat, Saur, Saibus, Sepanjang dan beberapa pulau lain, angka lulusan SD mencapai 72,55%, dan lulusan SMP hanya sebesar 5,66% dan SMU sebesar 1,77% dan Perguruan Tinggi hanya mencapai 0,02%. Dan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah hanya menyediakan satu tenaga dokter pada tahun 2005 untuk jumlah penduduk yang hampir mencapai 45 ribu jiwa, yang sebelumnya hanya seorang mantri, sehingga kebutuhuan terhadap pelayanan kesehatan yang layak tidak terpenuhi, dan angka kematian ibu dan bayi dari tahun ke tahun tetap stabil dalam angka yang besar, karena hanya mengandalkan tenaga dukun bayi.

Diperparah oleh pelayanan publik yang lain, yang hampir seluruh tenaga yang diperbantukan untuk bertugas melayani masyarakat kecamatan Sapeken adalah orang-orang jauh, berasal dari daratan Jawa dan Madura, sehingga beresiko paling tinggi untuk tidak masuk kerja dan makan gaji buta.

Kenyataan itu bisa dibuktikan pada kantor UPTD Pendidikan dan UPTD Kelautan dan Perikanan, bahkan penulis sampai sekarang tidak sempat mengenal siapa yang bertugas sebagai Kepala Kantor Pelabuhan Sapeken.

Dan yang paling menyedihkan adalah puluhan guru yang bertugas dikepulauanpun lebih banyak liburnya, sehingga terpaksa beberapa sekolah harus meliburkan muridnya, bahkan di tengah tuntutan sertifikasi guru, masih ada sekolah di kepulauan kecamatan Sapeken yang tenaga pengajarnya adalah lulusan SD tersebut, karena terbatasnya tenaga pengajar, lihatlah misalnya di SDN VIII di pulau Saur.

Jarak tempuh dari daratan Sumenep yang memakan waktu hingga 24 jam, dan transportasi tersedia hanya dua kali perjalanan persepuluh hari menuju Sapeken, adalah salah satu alasan tidak efisien dan efektifnya kinerja pelayanan publik oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep. Namun, persoalan yang sudah akut ini tidak kunjung mendapat penyelesaian yang baik. Sapeken seolah kehilangan tempat untuk mengadu.

Selain persoalan kinerja pelayanan publik, ancaman paling serius yang dihadapi masyarakat Sapeken adalah pengrusakan terumbu karang dan komunitas biota laut lainnya oleh nelayan liar yang berasal dari luar daerah Sapeken (atau pemilik modal di Sapeken “yang gila”), masyarakat Sapeken seolah tidak berdaya menghadapi ancaman itu, karena rata-rata nelayan yang datang itu dilengkapi dengan alat-alat yang canggih.

Apa yang penulis paparkan di atas, adalah jeritan hati masyarakat kepulauan, yang hari ini tidak mengenal Indonesia dan bisa jadi sudah tidak pernah punya keinginan lagi untuk kenal Indonesia. Mungkin, Indonesiapun hari ini baru mau berkenalan dengan pulau Sitabbok Kecamatan Sapeken, karena pertaruhan nilai nasionalisme. Nasionalisme yang sudah lama tercerabut dari hati elit bangsa ini, karena tidak pernah bisa merasakan keperihan hati masyarakat kepulauan yang terpencil dan terisolir. Dan mungkin Sapeken hanyalah salah satu pulau yang mengalami diskriminatif pembangunan itu. Wallahu’alam