(Sebuah Dialektika Sosial dan Kebebasan Berfikir)
By.Syaifuddin
(Alumni HIMAS/Pemuda Muhammadiyah)
Disaat semua bungkam dan diam dalam panatisme dan kesalehan individual, pada saat itu kelompok minoritas bergerak dalam dinamika kebungkaman itu, berangkat dari dhaurah ramadahan (th.2005 M), tradisi tahunan yang dilakukan oleh Alumni Pesantren Abu Hurairah sebagai bentuk penggodokan mentalitas dan pengembangan intelektualitas yang kental dengan kajian-kajian religius yang monologis (peserta hanya menjadi pendengar dari pemaparan pemateri), pada tahun itu, nampak aroma kesegaran berfikir, agresif, terbuka, dinamis dan ilmiah dibanding tahun-tahun sebelumnya , hal ini karena dominasi para mahasiswa sapeken yang tersebar di berbagai perguruan tinggi se Indonesia berkumpul untuk mengikuti acara tersebut.
Pada saat itu, mahasiswa sapeken telah meleburkan diri dan menjadi satu kekuatan perubahan dalam proses dialektika sosial dan pencerahan paradigma berfikir masyarakat, kekuatan perubahan itu berada pada satu wadah yang di sebut dengan HIMAS (24 Pebruari 2001), sebuah oraganisasi kemahasiswaan/kepemudaan yang terlahir dari anak jaman.
Berangkat dari dhaurah ramadhan, sebagai bentuk awal gerakan pencerahan generasi ketiga, generasi kaum terdidik yang terpola dari kampus untuk masyarakat, gerakan ke HIMAS-an tidak mustahil akan lepas dari benturan-demi benturan pemikiran dan kemapanan sosial apalagi para mahasiswa diasumsikan sudah terkena virus sepilis (sekuler, pluaralis dan libralis) sebuah asumsi dasar dari radikalisme berfikir dan ekstrimisme dalam beragama, itulah konsekwensi logis terhadap para pembaharu.
Dan masih segar dalam HIMAS memories, peristiwa pengkafiran, sesat, murtad, syetan laknatullah dan ungkapan kata-kata sinis yang dilabelkan pada HIMAS, apa lagi dimunculkan lewat gerakan mimbariyah doktrinisasi terhadap masyarakat “anak-anak kita (para mahasiswa) sudah terindikasi dan menjadi sayap JIL (Jaringan Islam Liberal ) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), terus mau jadi apa mereka?”.
Dan inilah tantangan terbesar bagi HIMAS dan harus mampu membantah bahwa HIMAS bukan seperti yang di asumsikan itu, tetapi HIMAS adalah kekuatan pembaharu dan mampu menjadi suritauladan untuk masyarakat karena bagaimanapun juga kaum terdidik selalu mengembangkan mentalitas dan beretikakan moralitas agama.
Menggugat Kebekuan
Melihat kondisi riil fanatisme beragama, anti kritik (kritik membangaun), paternalistik, kemapanan status qou dan hilangnya rasa solidaritas sesama dalam mengembangkan sosial-ekonomi masyarakat dan di perparah oleh truet claim (pengklaiman kebenaran tunggal dalam berfikir), ego sentries sosial mengakibatkan hilangnya kesadaran kritis masyarakat, gejala sosial ini dinilai sebagai kebekuan-kebekuan yang memperlambat dinamika peradaban masyarakat dan menjadi batu sandungan dalam proses kemajuan, disadari dan atau tidak disadari oleh kita.
Penyakit kronis masyarakat seperti itu akan melahirkan masyarakat ketergantungan dan pada akhirnya akan kehilangan prinsif hidup, bahkan akan tergilas oleh jaman yang selalu dinamis, menggila tanpa pandang buluh. Oleh karena itu HIMAS menggugat, sehingga tidak terciptanya masyarakat yang kerdil, gelamor, elitis dalam pergaualan (kesepadaman hidup; pendiskriditan dalam status sosial).
Gugatan-gugatan seperti itu, adalah naluriyah sosialitas manusia yang terdidik, dan bukan kaum terdidik (akademisi sosial) kalau tidak merasa ikut bertanggung jawab untuk melakukan perubahan dan pencerahan, karena HIMAS bukan ikan yang hidup dalam aqurium yang dibatasi oleh dunia imajiner, padahal di depan matanya ada gejala-gejala sosial yang memerlukan perubahan, dan HIMAS bukan katak yang hidup dalam tempurung, sebuah dunia kecil dalam pergaulan hidup dan terisolir oleh dinding-diding yang tidak dapat ditembus oleh kekuatan sang katak, tapi, HIMAS adalah kaum terdidik dan memiliki kekuatan ilmu dari berbagai disiplin untuk menembus dinding-dinding itu dan pada akhirnya keluar dari dunia kecil menuju masyarakat yang berperadaban, harmonis, berkemajuan dan beradab serta masyarakat yang sadar terhadap eksistensi ketuhananya “baldatun thayyibatun warabbun ghafaur”.
sebuah dialektika sosial yang terlahir dari Sang Kreator Allah SWT, “maqaasidus as- syar`iyyah” (Maksud Tuhan untuk manusia) karena bagaimanapun juga sebuah peradaban dan kemajuan tidak akan pernah merasa damai dan bertahan jika tidak menyandarkan pada dua kekuatan besar untuk mengembangkan titah-titah Tuhan dalam pemakmuran bumi dan menjaga peradaban manusia dalam keberlansungan hidup di dunia-Nya, yaitu; pertama, kontiunitas komitmen dalam keyakinan terhadap ke Maha Esaan Tuhan (al-iman) dan ; kedua, kreatifitas tertinggi manusia dengan ilmu pengetahuannya (amal shaleh).
Sejarah mencatat,tiga peradaban bersar dunia pernah berlansung, tetapi tidak pernah bertahan dalam ke abadian duniawiyahnya, Empirium Romawi, pernah jaya namun hancur berkeping-keping, Empirium Yunani pun pernah berjaya dan menjadi rujukan dunia namun hancur lebur dalam kejayaannya dan Islam pun pernah menjadi peradaban dunia dan di saat Eropa-Barat lelap buyan mimpi kegelapan dan tengelam dari tidurnya Islam sudah menjadi metropolis dunia dalam pengembangan sain dan lmu pengetahuan, tapi peradaban dan kemajuan Islam pada saat itu tidak bertahan lama dalam dinamikanya, lalu kita bertanya kenapa tiga peradaban bersa itu tidak bertahan lama? jawabnya adalah, empirium Yunani-Romawi, hancur karena karena perdaban yang mereka pimpin tidak disandarkan pada keyakinan agama yang benar, sedangkan peradaban Islam lumpuh karena tingginya pengembangan spritualitas (hight sprituality) “ukrawiyah” tapi kering dalam pengembagan sain dan Ilmu pengetahun “duniawiyah” dan sejak itu dunia Barat mengmabil alih perdaban dunia sampai sekarang.
Ketika Ibnu Rust, “menggugat” penampilan umat Islam dan berusaha melakukan dialektika sejarang dengan gagasan-gagasan yang progresif, namun pada saat yang bersamaan muncul Imam Al Gazali, melawan gagasan-gagasan Ibnu Rust dengan konsep Hight sprituality (pengembangan rohaniyah dan melemahnya pengembangan duniawiiiyah sehingga tidak adaya balence antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spritual.
HIMAS Tergugat
Dalam kemelut kesah dinamika masyarakat berada ditengah paternalistik,ketergantungan tokoh yang berujung kepada kebenaran tungal, menggugah para mahasiswa untuk bisa mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya dengan realitas sosial. Dalam perjalanannya HIMAS mengalami goncangan-demi goncangan dari para tokoh sosial dan elit agama, bahwa apa yang dilakukan oleh para mahasiswa adalah keresehan aqidah umat dan hanya menaburkan benih-benih sekulerisme, pluralisme dan libralisme.
Ada beberapa catatan-catatan kecil yang termaktup dalam HiMAS Memories dan menjadi goresan perjuangan kepulauan untuk Indonesia, peristiwa Dhaurah Ramadhan awal dari hantaman buat mahasiswa, fikrah mahasiswa dinilai sudah keluar dari fikrah Islam, komitmen keimanan mahasiswa sudah kering dari radikalisme ketuhanan, berangkat dari dialog akademis “Indahnya Mencintai Karena Allah Menuju Ukhuwah dan Persatuan Umat Islam”. Pada sesi kedua (dialog pemateri-peserta) mencul sekelumit pertanyaan dari peserta (HIMAS Lampung); “kenapa perempuan dinikahi dan menjadi obyek laki-laki?” dengan lantang dan fasih pemateri membacakan sebuah hadist Rasulullah SWA. untuk memperkuat argumentasinya; bahwa, perempuan di cintai dan di Nikahi laki-laki karena empat yang melekat pada dirinya; yaitu, “karena hartanya,karena kecantikanya,karena keturunanannya (kehormatan;keluarganya) dan karena agamanya”. Mendengar jawaban itu, penanya mengeluarkan kegelisahan dan ketidak puasannya, dan kembali bertanya, “kalau hal itu saya sudah tahu, yang saya ingin pertegaskan, apakah tidak ada jawaban lain selain dari itu?” seorang peserta (guru pesantren) merspon dengan retorika sinis terhadap mahasiswa ”kenapa kita tidak menrima hadist sebagai jawaban terhadap permaslahan dan mengangap wahyu Tuhan sudah tidak relevan lagi dengan jaman?” melihat reaksi itu, peserta (HIMAS Malang) berkilah dengan konsep relativisme kebenaran “para mahasiswa tidak pernah mengatakan pesan-pesan lagit itu sudah lapuk oleh masa dan sudah tidak relevan lagi dengan kecanggihan berfikir manusia, tetapi, wahyu Tuhan melekat dalam absolutisme kebenaran, dan akan menjadi relativisme kebanaran ketika wahyu di benturkan untuk merespon realitas bumi (masyarakat) karena adanya interpretasi/penapsiran yang dilakkan manusia sesuai dengan kapasitas intelektulitasnya, artinya kebenaran wahyu adalah kebenaran tertinggi dan tidak adanya yang dapat membantahnya dan relativisme kebnaran terendah adalah pruduk berfikir manusia yang selalu berubah sesuai dengan dinamika dan kemajuan berfikir manusia. Karena forum semakin dinamis dan terkesan alot maka dialogpun di hentikan untuk menju pada pemateri berikutnya.
Mendengar hasil dari dhaurah ramadhan itu, Mudir `Am Pesanteren Abu Hurairah, terkejut dan bereaksi keras untuk meminta klarifikasi apa yang terjadi pada saat dahurah itu, maka para panitia di panggil untuk menghadap dengan dua opsi: “mengkalrifikasi (dirumah atau di pesanteren) dan atau kalian (mahasiswa) dijadikan tema khutbah `idul fitri nanti?”. Dan panitiapun memilih opsi pertama, setalah shalat tarawi, mahasiswa yang disebut ikut bertanggung jawab dalam acara tersebu menghadap kepada beliau (HIMAS Lampung,HIMAS Malang dan HIMAS Mankasar, dan HIMAS Jakarta)sebagi bentuk dari pertanggung jawaban Dhaurah, setelah dipersilahkan masuk kerumah beliau dan beliau mengomentari dan berpesan kepada para masiswa pada saat itu ”seharusnya kalianlah yang harus mengcounter pemikiran JIL bukan sebaliknya sebagai penyebar JIL, kalau demkian siapa yang akan berbicar dan mengklarifikasi pada acara itu?”. Maka HIMAS Lampung (Ketua Panitia), mengklarifikasi bahwa ”kami (mahsiswa tidak pernah mengatakan dan menganggap wahyu (al-qur`an-al-hadits)sudah tidak relevan lagi dengan jaman, kami hanya mengatakan hasil pruduk penafsiran manusia tehadap wahyulah yang mengandung kebeneran relatif’ beliaupun mengatakan, “jika demikian tidak ada masalah, saya memangil kalian hanya meminta klarifikasi, kebnaran yangsesunguhnya karean alquran berpesan agar kita ber-tabayyun; meminta penjelasan, dan saya berharap kalian tidak menjadi bagian dari JIL .!
Untuk menindak lanjuti pesan itu, mahasiswa (HIMAS Malang, HIMAS Jakarta dan HIMAS Jogjakarta menghadap kembali kepada beliau (Mudir`Am PP.Abu Hurarah) dan beliau mengatakan, seandainya seminar itu yang kalian laksanakan bukan dhaurah yang tidak ada mamfaatnya itu, terus kapan?” merekapun menjawab “dua hari lagi, dan merekapun meminta kepada beliau untuk menjadi Key Note Speaker dalam acara “Dialog Publik” (Mengantisipasi Masuknya Pemikiran JIL di Kepulauan Sapeken) dengan Nara Sumber pertama, Rahmatul Ummah, representatif Mahasiswa (HIMAS Lampung) “Pemikiran JIL dalam Perspektif Akademik” dan nara sumber kedua, Ust.Firdaus, Representatif (PP.Abu Hurairah) “Pemikiran JIL dalam Perspektif Al-quran dan Hadits” dan beliau menyanggupinya.
Pada saat pelaksanaan dialog publik di Masjid Mujahadah, maksud dan hasil yang akan di capai tidak memenuhi standar karena Key Note Speaker berbicara dengan penuh emosional dan hujatan terhadap JIMM dan JIL yang di labelkan kepada mahasiswa Sapeken, kata-kata sisnis dan subyektivitas itu menghantam mahasiswa, bahkan mempengaruhi pemateri pertama yang hanya berbicara lima menit dan tidak representatif terhadap kajian JIL yang akan di sampaikan pada saat itu dan pemateri keduapun tidak lagi berbicara pemikiran JIL dalam perspekti alqur`n dan hadist tetpi lebih terfokus pada logika dan pengharaman filsafat, dialog pun tidak terjadi karena mahasiswa pada saat itu sudah membiarkan pemateri berbicara monologi tanpa menghiraukan apa yang di paparka terutam oleh pemateri kedua.
Sebagai Mahasiswa yang lebih banyak bergelut dengan beragai disiplin ilmu di tempat perkuliahan (daerah) masing-masing dan moment terbesar untuk berkumpul adalah pada jelang hari raya `idul fitri sampai tujuh hari setelah hari raya, tepat tahun 2006 alumni mahasiswa (HIMAS Malang dan HIMAS Jogjakarta) mengadakan “SEMINAR” (Study Kelayakan Kabupaten Kepulauan Sapeken-Kangayan) di Masjid Mujahadah kamp.raas (sasaran yang direncanakan sebagai awal kebangkitan peradaban baru di Sapeken), dengan dua nara sumber, nara sumeber pertama, H.Mabni Darsi,MA alumnus, Internasional Islamic Univesity of Islamabad Pakistan dan nara sumber kedua, Badrul Aini, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Sumenep.
Lagi-lagi HIMAS tergugat, karena terkesan memojokkan nara sumber kedua, padahal nara sumber kedua hanya bisa berapologi dalam ketidak mampuanya untuk memberikan jawaban yang di pertanyakan kepada beliau.
Kemudian pada tahun 2008 mahasiswa (alumni HIMAS Malang dan HIMAS Jakarta) kembali melakukan Gebrakan pencerahan dan pendidikan politik kepada masyarakat jelang Pemilihan Kepala Desa Sapeken Periode 2008-2014, gerakan pendidikan politik ”politic education” terhadap masyarakat berupa “DEBAT KANDIDAT” (Mencari Pemimpin Masa Depan Sapeken Periode 2008-2009), ternyata menadapat counter dari tokoh sentral kepulauan bahwa “apa yang dilakukan oleh mahsiswa, hanya akan menibulkan konflik antar pendukung” padahal dengan debat tersebut masyarakat dapat menilai kamapuan para kandidat yang akan di nomor satukan itu, karena konsep yang di tawarkan adalah bagaiman para kandidat menyelaesaikan problematika masyarakat Sapeken terhadap harapan masyarakat yang sudah divisualkan lewat vidio rekaman oleh panitia.
Dalam perjalan pencoblosan pesta demokrasi lokal (PILKADES) yang memakan korban dengan tengelamnya perahu motor (masyarakat yang memilih) dari masyarakat dusun pulau Saibus. Dengan tanggap HIMAS lansung menggalang dana atas musibah yang menimpa masyarakat dusun Saibus di tengah-tengah kerumunan masyarakat disat pencoblosan sedang berlansung. Namun tetap saja HIMAS tergugat “kenapa HIMAS harus bertanggung Jawab untuk melakukan pengalngan dana?, seharusnya panitia-lah yang bertanggung jawab dari musibah tersebut”.
Kebaktian dan kepedulian itu, kenapa harus di batasi hanya kepada orang tertentu saja, bukankan agama mengajarkan bahwa manusia harus saling ta`aun dan ber-fastabiqul khairat? Jawabannya adalah merka tidak akan merasa “senang” kalau pekerjaan dan ide-ide tidak keluar dari mereka yang memiliki kemapanan sosial itu.
Apa yang dilakukan oleh HIMAS adalah bentuk dari aktualisasi gagasan dan kepedulian sosial karena HIMAS dilahirkan oleh para senionya bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain (masyarakat), dan bagaimanapun juga HIMAS bagian dari masyarakat